Minggu, 11 Desember 2011

SEBUAH TINJAUAN YANG MEMBANDINGKAN SISTEM BIAYA ACTIVITY-BASED COSTING (ABC) Dengan SISTEM BIAYA TRADISIONAL


SEBUAH TINJAUAN YANG MEMBANDINGKAN SISTEM BIAYA ACTIVITY-BASED COSTING (ABC) Dengan SISTEM BIAYA TRADISIONAL

Disadurkan oleh:
Iskandarsyah Satriya., SE., SH., MBA., BKP., Ak
Universitas Mulawarman, Samarinda

 


Abstrak
Suatu temuan yang konsisten dari buku akuntansi biaya tradisional adalah ketidak tepatan dalam menggunakan informasi biaya untuk menjalankan suatu pabrik manufakturing. Hal ini berbeda dengan sistem biaya ABC yang memberikan informasi biaya yang lebih akurat.
Sistem biaya ABC menelusuri biaya produksi tidak langsung ke unit, batch, lintasan produk, dan seluruh fasilitas berdasarkan aktifitas tiap level. Metode penentuan biaya ini menghasilkan biaya akhir produk yang lebih akurat dan lebih realistis.
Sistem biaya berbasis aktivitas (ABC) adalah sebuah metode akuntansi yang mengidentifikasi kegiatan perusahaan, dan kemudian menetapkan biaya tidak langsung ke produk. Sistem biaya berbasis aktivitas (ABC) mengakui adanya hubungan antara biaya, kegiatan dan produk, dan melalui hubungan ini memberikan biaya tidak langsung untuk produk. Dengan tahapan penerapannya (1) Mengidentifikasi dan mendefinisikan aktivitas dan kelompok aktivitas. (2) Menelusuri langsung ke aktivitas dan obyek biaya. (3) Membebankan biaya ke kelompok biaya aktivitas dan (4) Menghitung tarif aktivitas.
Biaya berdasarkan aktivitas (ABC) adalah model penetapan biaya khusus yang mengidentifikasi kegiatan dalam sebuah organisasi dan memberikan biaya setiap kegiatan dengan sumber daya untuk semua produk dan layanan sesuai dengan konsumsi aktual oleh masing-masing. Model ini memberikan biaya tidak langsung (overhead) ke dalam biaya langsung dibandingkan dengan model biaya konvensional. Adapun activity based costing model adalah Obyek Biaya di didentifikasikan kedalam Aktivitas (pemacu biaya) kemudian memperhitungkan Konsumsi Sumber Daya dan kemudian membebankan sejumlah Biaya pada aktivitas tersebut.




A.    Definisi Activity-Based Costing
Activity-Based Costing (ABC) adalah metode mengalokasikan biaya ke produk dan layanan. Hal ini umumnya digunakan sebagai alat untuk perencanaan dan kontrol. Ini dikembangkan sebagai pendekatan untuk mengatasi masalah yang terkait dengan sistem manajemen biaya tradisional, yang cenderung memiliki ketidakmampuan untuk secara akurat menentukan produksi aktual dan biaya jasa, atau memberikan informasi yang berguna untuk keputusan operasi.
ABC memungkinkan manajer untuk menentukan/menetapkan biaya pada kegiatan dan produk yang lebih akurat daripada metode akuntansi biaya tradisional. Kegiatan bertanggung jawab atas biaya dapat diidentifikasi dan disampaikan kepada pengguna hanya ketika produk atau layanan menggunakan aktivitas. Salah satu keuntungan ABC adalah merupakan sarana peningkatan mengidentifikasi biaya overhead yang tinggi per unit dan mencari cara untuk mengurangi biaya.

Cara kerjanya adalah kegiatan besar pertama diidentifikasi dalam sistem proses.
kelompok biaya berikutnya adalah diciptakan untuk kelompok kegiatan yang dapat dialokasikan bersama-sama. Berikut ini pemacu (driver) biaya diidentifikasi. Jumlah biaya yang digunakan pemacu (driver) biaya bervariasi tergantung pada keseimbangan antara akurasi dan kompleksitas. Setelah menentukan pemacu (driver) biaya, tarif dihitung. Tarif ini kemudian diterapkan pada pemacu (driver) biaya masing-masing untuk setiap produk atau layanan yang sedang dipertimbangkan. Biaya overhead per unit ini kemudian diturunkan dengan membagi total biaya untuk produk dengan unit produk total.
B.     Perbandingan Sistem Biaya Activity-Based Costing (ABC) dengan Sistem Biaya Tradisional
Beberapa perbandingan antara sistem biaya tradisional dan sistem biaya Activity- Based Costing (ABC) yang dikemukakan oleh Amin Widjaya dalam bukunya “Activity-Based Costing untuk manufakturing dan pemasaran ", adalah sebagai berikut: :  
1.      Sistem biaya ABC menggunakan aktivitas-aktivitas sebagai pemacu biaya (driver) untuk menentukan seberapa besar konsumsi overhead dari setiap produk. Sedangkan sistem biaya tradisional mengalokasikan biaya overhead secara arbitrer berdasarkan satu atau dua basis alokasi yang non reprersentatif.  
2.      Sistem biaya ABC memfokuskan pada biaya, mutu dan faktor waktu. Sistem biaya tradisional terfokus pada performansi keuangan jangka pendek seperti laba. Apabila sistem biaya tradisional digunakan untuk penentuan harga dan profitabilitas produk, angka-angkanya tidak dapat diandalkan.  
3.      Sistem biaya ABC memerlukan masukan dari seluruh departemen persyaratan ini mengarah ke integrasi organisasi yang lebih baik dan memberikan suatu pandangan fungsional silang mengenai organisasi.  
4.      Sistem biaya ABC mempunyai kebutuhan yang jauh lebih kecil untuk analisis varian dari pada sistem tradisional, karena kelompok biaya (cost pools) dan pemacu biaya (cost driver) jauh lebih akurat dan jelas, selain itu ABC dapat menggunakan data biaya historis pada akhir periode untuk menghilang biaya aktual apabila kebutuhan muncul.  

C.    Dasar-Dasar Activity-Based Costing (ABC)
Dalam sistem biaya Activity Based Costing (ABC), produk diartikan sebagai barang atau jasa yang berusaha dijual oleh perusahaan, termasuk pelayanan kesehatan, asuransi, pinjaman bank, pelayanan konsultasi, bensin, bioskop, roti, dan lain-lain. Semua produk tersebut diatas dihasilkan melalui aktivitas perusahaan dan akrivitas inilah yang mengkonsumsi sumber daya.
Biaya yang tidak dapat didistribusikan secara langsung pada produk akan dibebankan pada aktivitas yang menyebabkan biaya tersebut timbul. Biaya untuk tiap aktivitas ini kemudian dibebankan pada produk yang bersangkutan. Hubungan untuk mengalokasikan biaya ke produk dinyatakan dalam gambar II.1.
Dasar-dasar sistem biaya ABC ini mencakup (a). biaya produksi tidak langsung, (b). aktivitas, (c). tujuan biaya (cost objective), (d). pemacu biaya (cost driver) dan (e).kelompok biaya (cost pool).
(a). Biaya Produksi Tidak Langsung (Factory Overhead Cost)
Pengertian biaya produksi tidak langsung (factory overhead cost) atau singkatnya biaya overhead produksi menurut Matz dan Usry dalam buku "Cost Accounting, Planning and Control (1980), sebagai berikut: biaya overhead produksi (factory overhead cost) dapat didefenisikan sebagai biaya dari bahan atau material tidak langsung, tenaga kerja tidak langsung, dan semua biaya produksi yang tidak dapat dibebankan langsung kepada produk. Jadi dengan kata lain biaya overhead produksi ini meliputi seluruh biaya produksi kecuali biaya material langsung dan biaya tenaga kerja langsung.
Biaya overhead produksi merupakan biaya yang tidak dapat diidentifikasikan secara langsung kepada produk yang menggunakannya atau yang mengkonsumsinya. Hal ini berbeda dengan biaya produksi langsung yang dapat diidentifikasi secara langsung kepada produk yang mengkonsumsinya.
Biaya overhead yang timbul umumnya dikonsumsi oleh lebih dari satu departemen produksi. Oleh karena itu diperlukan suatu prosedur distribusi biaya yang digunakan untuk membebankan biaya overhead ini kepada tiap-tiap departemen ataupun produk yang mengkonsumsinya. Secara garis besar, biaya overhead produksi digolongkan sebagai berikut :  
1. Biaya Bahan Pembantu (Indirect Material)
Biaya bahan pembantu merupakan biaya bahan yang diperlukan dalam proses pembuatan produksi, tetapi bukan biaya bahan baku (bahan langsung). Bahan pembantu ini akhirnya juga menjadi bagian produk, tetapi memiliki nilai yang kecil.  
2. Biaya Tenaga Kerja Tidak Langsung (Indirect Labor)
Biaya tenaga kerja tidak langsung merupakan biaya tenaga kerja yang tidak dapat diidentifikasikan secara langsung kepada produk. Misalnya adalah biaya gaji supervisor, quality control, tenaga kerja administrasi dan pekerja yang bertugas dalam kerja pemeliharaan yang secara tidak langsung berkaitan dengan produksi.  
3. Biaya Reparasi dan Pemeliharaan (Repair and Maintenance)
Biaya reparasi dan pemeliharaan yaitu biaya yang dikeluarkan untuk aktivitas reparasi dan pemeliharaan mesin/peralatan, serta pemakaian suku cadang. Terkadang biaya suku cadang dipisahkan dari biaya reparasi dan pemeliharaan.  
4. Biaya Penyusutan dan Depresiasi
Misalnya adalah biaya penyusutan mesin, peralatan dan kendaraan.  
5. Biaya Utilitas
Misalnya adalah biaya penggunaan air, gas dan listrik.
Sejalan dengan perkembangan teknologi pada proses produksi, biaya overhead produksi juga semakin meningkat. Saat ini perusahaan-perusahaan cenderung beralih dari padat karya menjadi padat modal. Tenaga kerja tidak lagi menjadi aktivitas penambah nilai yang utama pada proses produksi, karena penggunaan teknologi (mesin, komputer, dan lainnya) akan mengambil alih posisi dari tenaga kerja manusia. Peralihan inilah yang menyebabkan persentase biaya overhead produksi naik secara signifikan
Penggunaan sistem biaya tradisional dalam membebankan biaya overhead akan menjadi tidak relevan lagi, karena sistem ini menggunakan satu atau dua pemacu biaya yang berbasis unit (unit based cost drivers) sebagai dasar pembebanan biaya. Menggunakan satu atau dua pemacu biaya berbasis unit untuk membebankan semua biaya overhead produksi akan menciptakan biaya produksi yang terdistorsi.
Distorsi yang terjadi adalah berupa subsidi silang (cross subsidy) antar produk, hal ini akan membuat situasi dimana satu produk akan mengalami kelebihan biaya (over costing dan produk yang lain akan mengalami kekurangan biaya (under costing).Tingkat distorsi yang terjadi tergantung pada proporsi biaya overhead produksi terhadap biaya produksi total. Semakin besar proporsinya semakin besar pula distorsi yang terjadi dan demikian juga sebaliknya. Hal inilah yang melandasi dikembangkannya sistem biaya Activity-Based Costing (ABC).
Adapun penentuan biaya overhead produksi dengan sistem tradisional dapat dilihat pada gambar II.2, sedangkan penentuan biaya overhead produksi dengan sistem biaya Activity-Based Costing (ABC)
Sistem biaya tradisional mengutamakan satu atau dua pemacu biaya yang berbasis unit sebagai pembeban biaya sehingga menciptakan biaya produk yang terdistorsi. Distorsi yang terjadi berupa subsidi silang (cross subsidy) antar produk, satu produk mengalami kelebihan biaya (overcosting) dan produk lainnya mengalami kekurangan biaya (undercosting). Tingkat distorsi yang terjadi tergantung pada proporsi biaya overhead terhadap biaya produksi total. Semakin besar proporsinya, semakin besar distorsi yang terjadi demikian juga sebaliknya. Hal inilah yang melandasi dikembangkannya sistem biaya Activity- Balanced Accounting (ABC).
(b). Aktivitas dan Klasifikasinya
Disini dilakukan pembedaan defenisi antara aktivitas pada perusahaan besar dengan aktivitas pada perusahaan menengah dan kecil. Untuk perusahaan besar, aktivitas didefenisikan sebagai proses-proses atau prosedur-prosedur yang menyebabkan kerja. Sebagai contoh, dalam departemen account payable aktivitasnya dapat diperinci antara lain pengisian laporan penerimaan, order pembelian dan invoice, membandingkan laporan penerimaan, order pembelian dan lainnya.
Sedangkan untuk perusahaan menengah dan kecil aktivitas tersebut didefenisikan oleh T. Hicks dalam bukunya Activity-Based Costing for Small and Mid-Sized Businesses: An Implementation Guide (1992), sebagai sekelompok kegiatan yang memiliki hubungan proses dan prosedur dapat digabungkan kedalam kebutuhan kerja secara khusus dalam organisasi. Berdasarkan defenisi tersebut maka aktivitas departemen account payable adalah account payable dan aktivitas departemen purchasing adalah purchasing.
Dalam sistem biaya Activity-Based, Costing (ABC) aktivitas yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan kegiatan merancang dan memproduksi suatu produk yang disebut juga dengan product driven actuvity.
Product driven activity ini dapat dikelompokkan atas empat kategori, yaitu :  
1. Aktivitas-aktivitas Berlevel Unit (Unit-Lavel activities)
Aktivitas berlevel unit (unit-level activities) adalah aktivitas yang dikerjakan setiap kali satu unit produk diproduksi, besar kecilnya aktivitas ini dipengaruhi oleh jumlah unit produk yang diproduksi. Biaya yang timbul karena aktivitas berlevel unit ini dinamakan biaya aktivitas berlevel unit (unit-level activities cost), contoh biaya overhead untuk aktivitas ini adalah biaya listrik dan biaya operasi mesin. Biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung juga termasuk kedalam biaya aktivitas berlevel unit, namun tidak termasuk kedalam biaya overhead.  
2. Aktivitas-aktivitas Berlevel Batch (Batch-Lavel activities)
Aktivitas-aktivitas berlevel batch (batch-level activities) adalah aktivitas yang dikerjakan setiap kali suatu batch produk diproduksi, besar kecilnya aktivitas ini dipengaruhi oleh jumlah batch produk yang diproduksi. Contoh aktivitas yang termasuk kedalam kelompok ini adalah aktivitas setup, aktivitas penjadwalan produksi, aktivitas pengelolaan bahan (gerak bahan dan order pembelian), aktivitas inspeksi. Biaya yang timbul akibat dari aktivitas ini adalah biaya aktivitas berlevel batch (batch-level activities), biaya ini bervariasi batch produk yang diproduksi, namun bersifat tetap jika dihubungkan dengan jumlah unit produk yang diproduksi dalam setiap batch.  
3. Aktivitas-aktivitas Berlevel Produk (Product-Lavel activities)
Aktivitas-aktivitas berlevel produk (product-level activities) disebut juga sebagai aktivitas penopang produk (product-sustaining activities) yaitu aktivitas yang dikerjakan untuk mendukung berbagai produk yang diproduksi oleh perusahaan. Aktivitas ini mengkonsurnsi masukan untuk mengembangkan produk atau memungkinkan produk diproduksi dan dijual. Aktivitas ini dapat dilacak pada produk secara individual, namun sumber-sumber yang dikonsumsi oleh aktivitas tersebut tidak dipengaruhi oleh jumlah produk atau batch produk yang diproduksi. Contoh aktivitas yang termasuk kedalam kelompok ini adalah aktivitas penelitian dan pengembangan produk, perekayasaaan proses, spesifikasi produk, perubahan perekayasaan, dan peningkatan produk. Biaya yang timbul akibat dari aktivitas ini disebut dengan biaya aktivitas berlevel produk (product-level activities cost).  


4. Aktivitas-aktivitas Berlevel Fasilitas (Facility-Lavel activities)
Aktivitas berlevel fasilitas (facility-level activities) disebut juga sebagai aktivitas penopang fasilitas (facility-sustaining activities) adalah meliputi aktivitas untuk menopang proses manufaktur secara umum yang diperlukan untuk menyediakan fasilitas atau kapasitas pabrik untuk memproduksi produk, namun banyak sedikitnya aktivitas ini tidak berhubungan dengan volume atau bauran produk yang diproduksi.
Aktivitas ini dimanfaatkan secara bersama oleh berbagai jenis produk yang berbeda, atau dengan kata lain aktivitas ini dilakukan untuk mempertahankan eksistensi perusahaan. Contoh aktivitas ini mencakup misalnya: manajemen pabrik, pemeliharaan bangunan, keamanan, pertamanan (landscaping), penerangan pabrik, kebersihan, pajak bumi dan bangunan(PBB), serta depresiasi pabrik. Aktivitas manajemen pabrik bersifat administratif, misalnya aktivitas pengelolaan pabrik, karyawan, dan akuntansi untuk biaya. Biaya untuk aktivitas ini disebut dengan biaya aktivitas berlevel fasilitas (facility-level activities cost). 
Tingkatan Aktivitas Pada Sistem Biaya Activity-Based Costing (ABC)
Meskipun sistem biaya ABC ini kelihatan lebih kompleks dari sistem biaya tradisional, tetapi sistem ini mampu menghasilkan perhitungan biaya yang lebih akurat. Aktivitas ini juga dapat diklasifikasikan, yaitu sebagai berikut : 
a. Aktivitas Repetitif dan Non Repetitif
Aktifitas repetitif dilakukan secara berulang atau kontiniu, sedangkan aktifitas yang non repetitif adalah aktivitas yang dilakukan hanya satu kali.  
b. Aktivitas Primer dan Sekunder
Aktifitas primer (production activity) merupakan aktivitas yang memiliki kontribusi langsung terhadap kegiatan-kegiatan departemen atau unit organisasi, sedangkan aktivitas sekunder (production support activity) mendukung aktivitas primer.  
c. Aktivitas yang Memiliki Nilai Tambah dan Tidak Memiliki Nilai Tambah
Aktifitas yang memiliki nilai tambah merupakan aktivitas (value added) yang secara langsung dapat memberi benefit pada perusahaan, sedangkan aktivitas yang tidak memiliki nilai tambah (non value added) merupakan aktivitas yang tidak memberikan benefit kepada perusahaan.
Dalam sistem biaya Activity-Based Costing (ABC), terdapat beberapa teknik pengumpulan data aktivitas dimana tiap-tiap teknik memiliki kelebihan dan keterbatasan masing-masing. Teknik-teknik tersebut antara lain adalah :  
1. Analisi Data Historis
Analisis data historis ini menggunakan data-data yang sudah ada pada perusahaan. Data-data ini merupakan data aktivitas mingguan atau bulanan dan biasanya berisi aktivitas yang dilakukan tiap departemen.  
2. Analisi Proses Bisnis
Analisis Proses bisnis ini adalah merupakan yang melakukan pendekatan dengan proses bisnis dengan menelusuri aktivitas dari input sampai dengan output. Aktivitas ditentukan dengan observasi dari aliran fisik dan perubahan bentuk produk. Kelebihan dari pendekatan ini adalah dimungkinkannya penggambaran hubungan antara input atau output dari aktivitas dan identifikasi komunikasi antar departemen.  
(c). Tujuan Biaya (Cost Objective)
Konsep penting lainnya untuk mengerti tentang sistem Biaya Activity-Based Costing(ABC) adalah tujuan biaya (cost objective). Tujuan biaya didefenisikan sebagai "item" akhir (final) dimana semua biaya terakumulasi. Tujuan biaya final ini berupa akumulasi biaya untuk mentransfer barang atau jasa kepada konsumen diluar perusahaan.
Tujuan biaya final dapat berupa produk atau jasa pelayanan yang disediakan oleh sauatu perusahaan untuk konsumen. Pada sistem manufakturing, tujuan biaya dapat berupa produk jadi atau proses manufakturing.  
(d). Pemacu Biaya (Cost Driver)
Pemacu biaya didefenisikan sebagai faktor yang digunakan untuk mengukur bagaimana biaya terjadi atau dapat juga dikatakan sebagai cara untuk membebankan biaya pada aktivitas atau produk. Secara praktis, pemacu biaya menunjukkan dimana biaya harus dibebankan dan seberapa besar biayanya.
Pemacu biaya adalah penyebab terjadi biaya, sedangkan aktivitas adalah merupakan dampak yang ditimbulkannya, Dalam sistem biaya activity-Based Costing (ABC) digunakan beberapa macam pemacu biaya sedangkan pada sistem biaya tradisional hanya menggunakan satu macam pemacu biaya tertentu yang digunakan sebagai basis, misalnya jam tenaga kerja/jam kerja orang, rupiah tenaga kerja, atau jam mesin.
Paling tidak ada dua faktor utama yang harus diperhatikan dalam pemilihan pemacu biaya (cost driver) ini yaitu: biaya pengukuran dan tingkat korelasi antara cost driver dengan konsumsi overhead sesungguhnya. Hal ini dapat dijelaskan, sebagai berikut:  
a. Biaya Pengukuran (Cost of Measurement)
Dalam sistem biaya Activity-ased Costing (ABC), sejumlah besar pemacu biaya dapat dipilih dan digunakan. Jika memungkinkan, adalah sangat penting untuk memilih pemacu biaya yang menggunakan informasi yang telah tersedia. Informasi yang tidak tersedia pada sistem yang ada sebelumnya berarti harus dihasilkan, dan akibatnya akan meningkatkan biaya sistem informasi perusahaan. Kelompok biaya (cost pool) yang homogen dapat menawarkan sejumlah pemacu biaya. Untuk keadaan ini, pemacu biaya yang dapat digunakan pada sistem informasi yang ada sebelumnya hendaknya dipilih. Pemilihan ini akan meminimumkan biaya pengukuran.

b. Derajat Korelasi (Degree of Corelation) Antara Pemacu Biaya don Konsumsi Overhead Aktualnya
Struktur informasi yang tersedia dapat dimanfaatkan dengan cara lain untuk meminimalkan biaya pengumpulan informasi konsumsi pemacu biaya. Terdapat kemungkinan utnuk menggantikan suatu pemacu biaya yang secara langsung mengukur konsumsi suatu aktivitas dengan pemacu biaya yang tidak secara langsung , mengukur konsumsi tersebut. Misalnya, jam inspeksi dapat digantikan oleh jumlah inspeksi aktual tiap produk, angka ini dapat lebih diketahui. Penggantian ini berlaku apabila jam yang digunakan dalam setiap inspeksi per produk adalah cukup stabil.  
Beberapa pemacu biaya yang sering digunakan dalam sistem biaya Activity Based Costing (ABC) adalah :  
1. Kelompok Tenaga Kerja (Labour Group)
Kelompok ini dipakai pada aktivitas yang elemen biaya utamanya adalah tenaga kerja atau pada aktivitas yang biaya aktivitasnya berubah secara paralel dengan perubahan tenaga kerja. Pemacu biayanya yaitu : jam kerja, upah tenaga kerja. Jam kerja juga dapat memacu konsumsi utilitas.  
2. Kelompok Waktu Operasi (Operating Time Group)
Dipakai sebagai pemacu biaya pada suatu grup operasi pengerjaan yang merupakan operasi dari suatu peralatan tunggal atau beberapa peralatan. Pemacu biaya yang digunakan adalah jam mesin (machine hour).  
3. Kelompok Pemilikan (Occupancy Group)
Merupakan pemacu biaya yang tepat untuk mendistribusikan biaya tetap (fixed cost) berdasarkan lokasi aktivitas atau asset. Sebagai contoh, depresiasi bangunan, pajak bangunan yang didistribusikan berdasarkan luas areal peraktivitas.Depresiasi peralatan atau biaya sewa gedung didistribusikan pada aktivitas yang terjadi dilokasi asset tersebut. Kelompok pemacu ini jarang digunakan sebagai dasar untuk penentuan besar biaya yang terjadi, tetapi lebih sering dipakai untuk menentukan dimana biaya harus didistribusikan. Pemacu biaya yang biasa dipakai adalah seperti ukuran pabrik, lokasi peralatan dan nilai peralatan.  
4. Kelompok Permintaan (Demand Group)
Dipakai sebagai pemacu biaya bila distribusi biaya pada aktivitas lain atau pada tujuan biaya didasarkan pada permintaan akan aktivitas tersebut. Contohnya adalah biaya perawatan, dapat dilihat bahwa biaya perawatan akan didistribusikan pada aktivitas atau tujuan biaya yang memerlukan pelayanan perawatan saja. Distribusi biaya yang akurat akan didapatkan berdasarkan estimasi atau permintaan aktual perawatan. Sama seperti kelompok pemilikan (occupancy group), kelompok permintaan ini juga jarang dipakai untuk menentukan besar biaya yang terjadi,tetapi lebih sering dipakai untuk menentukan biaya yang harus didistribusikan. Pemacu biaya yang dipakai untuk kelompok ini adalah biaya perawatan dan pemeliharaan mesin (repair and maintenance mechine).  
5. Kelompok Thoroughput (Thoroughput Group)
Dipakai sebagai pemacu biaya bila biaya utama dari suatu aktivitas ditentukan oleh jumlah unit thoroughputnya. Sebagai contoh bahan kimia tertentu yang dihasilkan oleh suatu perusahaan kimia dipacking dalam satuan tankerloads, drum 55 galon, dan karton satu galon. Proses packing ini dapat dipisahkan sebagai tiga aktivitas dengan unit thoroughput (tankerloads, drum 55 galon, dan kaftan satu galon) dan masing-masing menjadi pemacu biaya yang dipakai.  
6. Surrogate Cost Driver
Surrogate cost driver merupakan data atau ukuran yang telah tersedia di lapangan dan praktis dipakai untuk mendistribusikan suatu biaya ke aktivitas lain atau kedepartemen lain, apabila pemacu biaya secara teoritis sulit diukur datanya. Ada beberapa aktivitas yang pemacu biayanya sulit dan tidak praktis untuk diukur atau ditentukan dengan tepat. Misalnya, production control, accounting, general management dan marketing. Contoh pemacu biaya untuk kelompok ini adalah biaya material (material cost), dan biaya konversi (convertion cost), kedua pemacu biaya ini sering dipakai oleh perusahaan kecil dan menengah.
(e). Kelompok Biaya (Cost Pool)
Defenisi kelompok biaya (cost pool) adalah sekelompok biaya yang memiliki karekteristik yang sama. Karakteristik ini berkaitan dengan tolok ukur aktivitas yang sama, untuk maksud pembebanan biaya ke produk. Dalam penelitian ini, biaya-biaya
utama tidak dibagi menjadi kelompok-kelompok biaya, agar pembebanan biayanya bisa dilakukan dengan lebih akurat.
 D. Prosedur Pembebanan Biaya Sistem Activity-Based Costing (ABC)
Sistem biaya tradisional mendistribusikan biaya overhead produksi ke produk dengan menggunakan dasar aplikasi yang disebut dengan unit based measures (penggunaan berdasarkan jumlah/volume unit), yaitu jam tenaga kerja langsung, biaya tenaga kerja langsung, jam mesin, biaya bahwA baku langsung dibebankan secara rata pada seluruh produk yang dihasilkan. Sistem biaya ini mengasumsikan bahwa sumber daya yang dikonsumsi proporsional dengan acuan tersebut.
Sistem biaya tradisional ini menggunakan pembeban biaya dua tahap, tahap pertama adalah biaya overhead didistribusikan ke pusat-pusat biaya (cost centre). Pada tahap kedua, biaya yang terakumulasi dalam tiap pusat biaya dialokasikan ke produk dengan menggunakan pemacu unit based tersebut.
Sistem biaya Activity-Based Costing (ABC) merupakan suatu sistem biaya yang pertama kali menelusuri biaya keaktivitas Dan kemudian keproduk yang dihasilkan. Dalam sistem biaya ABC ini juga dikenal adanya prosedur pembebanan biaya aktivitas kepada produk berdasarkan aktivitas-aktivitas yang dikonsumsi oleh produk yang dihasilkan tersebut. Tahap yang dimiliki oleh sistem ABC tersebut dalam analisisnya dapat dibagi dalam dua tahapan, yaitu sebagai berikut :
1. Prosedur Tahap I
Pada tahap pertama ini dilakukan pembebanan biaya pemakaian sumber daya kepada aktivitas-aktivitas yang menggunakannya. Dalam kalkulasi biaya berdasarkan sistem Activity-Based Costing (ABC) tahap pertama, biaya overhead dibagi kedalam kelompok biaya yang homogen. Suatu kelompok biaya yang homogen merupakan suatu kumpulan dari biaya overhead, yaitu variasi biaya dapat dijelaskan oleh suatu pemacu biaya (cost driver). Aktivitas overhead yang homogen apabila mereka mempunyai rasio konsumsi yang sama untuk semua produk.
2. Prosedur Tahap II
Pada tahap kedua ini, biaya setiap kelompok biaya (cost pool) ditelusuri ke produk. Hal ini dilakukan dengan menggunakan tarif kelompok yang dihitung pada tahap pertama dan dikalikan dengan jumlah sumber daya yang dikonsumsi oleh setiap produk.Tolok ukur ini merupakan kuantitas pemacu biaya yang digunakan oleh setiap produk. Dengan demikian overhead yang dibebankan setiap kelompok biaya ke produk dihitung sebagai berikut :
Overhead yang dibebankan = Tarif kelompok x Jumlah konsumsi pemacu biaya
  Profitabilitas
Tujuan utama dari manajemen adalah mengerahkan dan menggunakan sumber- sumber yang ada dalam perusahaan yaitu seperti bahan baku, tenaga kerja, dan kapasitas pabrik, sedemikian rupa sehingga modal dalam perusahaannya dapat dipergunakan secara menguntungkan. Ukuran profitabilitas dari suatu produk dapat ditentukan dari ratio keuntungan kotor. Dalam penelitian ini dipakai profitabilitas ratio keuntungan kotor (gross profit ratio) karena pada penelitian yang diukur adalah biaya produksi .
Ratio keuntungan kotor menyatakan persentase ratio keuntungan kotor terhadap hasil penjualan produk. Keuntungan kotor ini adalah merupakan hasil dari penjualan (sales) dikurangi harga pokok produksi (cost of goods sold manufacturing). Informasi keuntungan kotor dapat berupa laba bruto atau rugi bruto tiap produk yang diperlukan, untuk mengetahui kontribusi tiap order dalam menutupi pengeluaran yang non-produksi, demikian juga sebaliknya. Perhitungan ratio keuntungan kotor (gross profit ratio) adalah sebagai berikut :
                                                Penjualan – Harga Pokok produksi
Ratio keuntungan kotor = -----------------------------------------    X 100%
Penjualan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar