Selasa, 06 Desember 2011

PERANAN AKUNTANSI DALAM TERLAKSANANYA PRINSIP-PRINSIP GCG DAN IKLIM BISNIS YANG BERETIKA


PERANAN AKUNTANSI DALAM TERLAKSANANYA
PRINSIP-PRINSIP GCG DAN IKLIM BISNIS YANG BERETIKA

Disadurkan Oleh;
ISKANDARSYAH SATRIYA., SE., SH., MBA., BKP., Ak




Abstrak

Berbagai kasus telah mencuat akibat adanya sistem tata kelola perusahaan yang buruk. Peran akuntansi tidak terlepas dari masalah-masalah tersebut karena akuntansi merupakan bahasa bisnis. Artinya, akuntansi bertanggung jawab dalam memberikan informasi yang relevan danbermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, peran akuntan dalam mewujudkan good corporate governance (GCG) juga melekat dengan penerapan kelima prinsip GCG tersebut. Terkait dengan prinsip kewajaran (fairness), suatu informasi akuntansi disebut wajar apabila disajikan sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum di Indonesia. Tingkat kewajaran tersebut berasal dari opini yang diberikan oleh akuntan publik, dalam hal ini auditor, berdasarkan petimbangan profesional mereka. Prinsip ke dua, yaitu akuntabilitas melibatkan peran akuntan yang ada di posisi komite audit. Komite audit bertugas melindungi kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan atas reliabilitas dan integritas laporan keuangan perusahaan. Prinsip GCG berikutnya adalah transparansi. Prinsip ini menekankan pada kualitas informasi yang disajikan perusahaan. Untuk itu informasi yang ada dalam perusahaan harus diukur, dicatat, dan dilaporkan oleh akuntan sesuai dengan prinsip dan standar akuntansi yang berlaku. Prinsip GCG yang ke empat yaitu responsibility, prinsip ini berhubungan dengan tanggungjawab perusahaan sebagai anggota masyarakat yaitu dengan cara mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan. Akuntansi berperan untuk menetapkan standar yang dapat mengakomodasi masalah ini, yaitu menetapkan PSAK 1 tentang Penyajian Laporan Keuangan. Dalam PSAK tersebut disebutkan bahwa perusahaan dapat menyajikan laporan tambahan yang menjelaskan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungannya. Peran akuntan untuk menegakkan prinsip ini semakin berkembang dengan adanya Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA) yang diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, Bapepam, BEJ, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Forum for Corporate Governance in Indonesia pada bulan Juni 2005. Prinsip yang terakhir adalah indpendensi, masalah independensi merupakan fokus utama bagi para akuntan publik atau auditor eksternal. Untuk dapat terlibat dalam keempat prinsip yang telah dijelaskan sebelumnya, hal pertama yang harus diperhatikan oleh akuntan adalah masalah independensi. Meskipun akuntan tersebut dipekerjakan oleh manajemen perusahaan, tetapi tanggung jawab mereka adalah kepada masyarakat umum. Sehingga akuntan memiliki kode etik profesi untuk menjaga profesionalitas mereka dalam berkarir.




PENGERTIAN CORPORATE GOVERNANCE

OECD (2004) dan FCGI (2001) mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain system yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa corporate governance merupakan suatu mekanisme yang dapat digunakan untuk memastikan bahwa supplier keuangan atau pemilik modal perusahaan memperoleh pengembalian atau return dari kegiatan yang dijalankan oleh manajer, atau dengan kata lain bagaimana supplier keuangan perusahaan melakukan pengendalian terhadap manajer.
Lebih jauh, Corporate Governance concern dengan kepentingan stakeholder lainnya (Lukviarman, 2000) Salah satu cara yang paling efisien dalam rangka untuk mengurangi terjadinya konflik kepentingan dan memastikan pencapaian tujuan perusahaan, diperlukan keberadaan peraturan dan mekanisme pengendalian yang secara efektif mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta kemampuan untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda. Mekanisme (pengendalian) internal dalam perusahaan antara lain struktur kepemilikan dan pengendalian yang dilakukan oleh dewan komisaris dalam hal ini komposisi dewan (World Bank,1999) Melalui mekanisme kepemilikan institusional, efektivitas pengelolaan sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba. Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga mengurangi tindakan manajemen melakukan manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen.
Lebih jelasnya Good Corporate governance adalah sistem atau cara bagaimana sebuah organisasi dikelola dan diarahkan. Penerapan good corporate governance pada sebuah perusahaan akan berpengaruh terhadap kebijakan strategis maupun cara perusahaan menjalankan praktik-praktik bisnisnya. Perubahan tersebut secara langsung akan berdampak pada pencapaian kinerja secara keseluruhan. Sehingga saat ini good corporate governance diyakini sebagai kontributor utama bagi peningkatan kinerja perusahaan.
Dalam kompetisi global, dimana nilai-nilai pemegang saham (shareholders value) menjadi perhatian utama dan semakin membesarnya keterlibatan institutional investor, agenda good corporate governance akan menjadi isu sentral perusahaan. Kesadaran dan keyakinan terhadap penerapan good corporate governance juga memungkinkan para Direktur dan Dewan Komisaris untuk mencapai hasil yang terarah dan maksimal.
Selain itu Good Corporate Governance juga bisa berfungsi sebagai alat untuk menilai quality of management dari sebuah kebijakan perusahaan. Dengan demikian good corporate governance sebenarnya adalah penerapan sistem yang bisa menjamin keberlangsungan bisnis perusahaan dengan lebih baik



PRINSIP – PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Terdapat lima prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi para pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Indepandency dan Fairness yang biasanya diakronimkan menjadi TARIF.  Penjabarannya sebagai berikut   :
1.      Transparency (keterbukaan informasi)
Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi.  Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholders-nya.
Transparansi (transparancy) yang meliputi
a)      Pengungkapan informasi yang bersifat penting
b)      Informasi harus disiapkan, diaudit dan diungkapkan sejalan dengan pembukuan yang berkualitas
c)      Penyebaran informasi harus bersifat adil, tepat waktu dan efisien

2.      Accountability (akuntabilitas)
Yang dimaksud dengan akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, system dan pertanggungjawaban elemen perusahaan.  Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.
Dapat dipertanggungjawabkan (accountability) yang meliputi pengertian bahwa:
a)      Anggota dewan direksi harus bertindak mewakili kepentingan perusahaan dan para pemegang saham
b)      Penilaian yang bersifat independent terlepas dari manajemen
c)      adanya akses terhadap informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu

3.      Responsibility (pertanggung jawaban)
Bentuk pertanggung jawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya; masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya.  Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggung jawab kepada shareholder juga kepada stakeholders-lainnya.
Pertanggungjawaban (responsibility) meliputi :
a)      Menjamin dihormatinya segala hak pihak-pihak yang berkepentingan
b)      Para pihak yang berkepentingan harus mempunyai kesempatan untuk mendapatkan ganti rugi yang efektif atas pelanggaran hak-hak mereka
c)      Dibukanya mekanisme pengembangan prestasi bagi keikutsertaan pihak yang berkepentingan
d)     Jika diperlukan, para pihak yang berkepentingan harus mempunyai akses terhadap informasi yang relevan.

4.      Indepandency (kemandirian)
Intinya, prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
Meliputi : independensi untuk auditor eksternal.

5.      Fairness(kesetaraan dan kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.  Diharapkan fairness dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan
Keadilan (fairness) yang meliputi :
a)      Perlindungan bagi seluruh hak pemegang saham
b)      Perlakuan yang sama bagi para pemegang saham.



PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Perusahaan dijalankan dalam sebuah kerangka yang didasarkan oleh peraturan perundang-undangan, arahan dari pemegang saham dan juga dengan mempertimbangkan kepentingan stakeholders. Inilah mengapa setiap perusahaan memerlukan kerangka Good Corporate Governance (GCG) yang sesuai dengan karakteristik dan kondisi usahanya. Dalam menyusun kerangka tersebut dan menyiapkan medium penerapannya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh perusahaan. Tahap dasar dalam keseluruhan penerapan GCG yang efektif adalah adanya pemahaman yang mendalam mengenai GCG, dan ini harus dimulai dari komitmen pemegang saham pengendali dan oleh mereka yang menjadi pimpinan di dalam perusahaan, yaitu Direksi dan Dewan Komisaris. GCG harus dipahami sebagai sebuah proses yang dapat meningkatkan nilai perusahaan bagi pemegang saham, yang antara lain terwujud dari pemastian kesinambungan usaha dan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang. Dengan adanya pemahaman tersebut, perusahaan dapat mulai melalukan berbagai tahapan pembenahan dan pengembangan situasi yang dapat mendukung penerapan GCG yang efektif.
Pembenahan Struktur Governance. Agar GCG dapat diterapkan, perlu ada struktur yang dapat mendukung. Perusahaan harus memiliki organ perusahaan yang dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan atas dasar prinsip bahwa masing-masing organ mempunyai kemandirian dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya semata-mata untuk kepentingan perusahaan. sebagai organ yang merupakan wadah para pemegang saham untuk mengambil keputusan penting berkaitan dengan modal yang ditanamnya di perusahaan. Setiap organ memiliki peranannya masing-masing dalam rangka menerapkan GCG di sebuah perusahaan. Ketiga organ perusahaan tersebut harus ada secara bersamaan, dan tidak dapat dibentuk secara bertahap.
Bentuk struktur yang dibutuhkan tentunya berbeda dari satu perusahaan dengan perusahaan yang lain, dan harus disesuaikan dengan kebutuhan, karakteristik usaha dan tuntutan regulasi dimana perusahaan tersebut beroperasi. Sepanjang struktur organisasi tersebut disusun berlandaskan prinsip pengendalian internal, sesuai bidang usaha perusahaan dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, maka GCG akan dapat diterapkan. Yang perlu menjadi perhatian bukan pada bentuk dari struktur organisasi itu sendiri, tetapi pada pemastian bahwa struktur yang ada dapat mengakomodasi penerapan prinsip-prinsip GCG, masing-masing organ memiliki independensi dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Dari kaca mata GCG, bisa jadi karena menyalah artikan pelaksanaan prinsip independensi, dimana struktur governance yang sudah baik tidak diikuti dengan proses governance yang baik. Seperti kita ketahui sistem hukum Indonesia mangatur perseroan terbatas, pengurusannya didasarkan pada sistem dua dewan, Direksi dan Dewan Komisaris. Dalam pengurusan perusahaan semestinya keduanya merupakan dwi tunggal dalam menyusun dan melaksanakan visi, misi, tata nilai maupun strategi perusahaan, semata-mata demi kepentingan perusahaan. Diluar kesepakatan itu keduanya wajib melaksanakan peran, fungsi, tanggung jawab dan kewenangannya secara independen, juga semata-mata demi kepentingan perusahaan. Dari pembelajaran tersebut, hal penting yang perlu diperhatikan adalah, dalam penyusunan struktur, fungsi dan tanggung jawab dari masing-masing organ, tidak ada satu organ yang dapat mendominasi organ lainnya. Harus dipastikan adanya keseimbangan dalam kewenangan (balance of power) sehingga tidak dapat terjadi adanya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) serta pemastian adanya mekanisme “check and balance” dalam aktivitas manajemen. Struktur governance yang sudah baik harus juga diikuti oleh pelaksanaan mekanisme governance yang juga baik.
Pembenahan Mekanisme Governance Perusahaan. Setelah struktur yang ada dibuat untuk dapat mendukung penerapan GCG, maka perlu dipastikan agar mekanisme kepengurusan perusahaan juga dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.
Keputusan yang diambil dalam RUPS harus didasarkan pada kepentingan usaha perusahaan dalam jangka panjang. RUPS dan atau pemegang saham tidak dapat melakukan intervensi terhadap tugas, fungsi dan wewenang Dewan Komisaris dan Direksi, tanpa mengurangi wewenang RUPS untuk menjalankan haknya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, termasuk untuk melakukan penggantian atau pemberhentian anggota Dewan Komisaris dan atau Direksi. Dewan Komisaris bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG. Namun demikian, Dewan Komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional. Direksi bertugas dan bertanggungjawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan. Masing-masing anggota Direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya. Namun, pelaksanaan tugas oleh masing-masing anggota Direksi tetap merupakan tanggung jawab bersama. Selain itu perlu diingat bahwa kedudukan masing-masing anggota Dewan Komisaris/Direksi adalah setara. Sehingga tugas Komisaris Utama/Direktur Utama sebagai primus inter pares adalah mengkoordinasikan kegiatan Dewan Komisaris/Direksi, dan bukan sebagai individu yang memiliki wewenang lebih dibandingkan anggota Komisaris/Direktur lainnya. Di lain pihak, pemegang saham juga bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan tidak langsung, melalui penyampaian pendapat yang bertanggung jawab dalam RUPS.
Selain dari pengaturan wewenang, juga perlu dipastikan adanya mekanisme komunikasi yang memadai, sehingga masing-masing organ perusahaan dapat melakukan fungsinya dengan baik, dan menerima informasi dengan lengkap, akurat dan tepat waktu (tentunya sesuai dengan kebutuhan dan kewenangan yang diatur untuk memungkinkan pemenuhan fungsinya) agar setiap organ dapat mengambil keputusan yang tepat untuk kepentingan perusahaan dalam jangka panjang.
Dewan Komisaris dan Direksi juga harus memiliki kesamaan pandangan terhadap visi, misi, tata nilai dan strategi perusahaan. Hal ini diperlukan agar keduanya dapat bekerja sama dalam memelihara kesinambungan usaha jangka panjang. Baik Direksi maupun Dewan Komisaris harus menjaga kelangsungan usaha perusahaan, dengan memastikan adanya pengendalian internal dan manajemen risiko yang memadai, tecapainya return yang optimal untuk pemegang saham, dan terlindunginya kepentingan stakeholders secara wajar. Untuk membantu pelaksanaan tugasnya, baik Direksi maupun Dewan Komisaris dapat membentuk unit atau Komite-Komite. Beberapa contoh dari Komite yang dibentuk oleh Dewan Komisaris antara lain adalah: Komite Audit untuk membantu Dewan Komisaris dalam memastikan integritas pelaporan keuangan, pengendalian internal, serta efektivitas fungsi eksternal audit dan internal audit (baik fungsi tersebut berada di dalam peusahaan maupun di-outsource dari luar). Khusus untuk perusahaan publik, Komite Audit ini wajib dibentuk oleh Dewan Komisaris. Sementara, Komite lainnya, seperti Komite Nominasi dan Remunerasi, Komite Kebijakan Risiko, Komite Corporate Governance, merupakan komite yang keberadaannya bukan merupakan sebuah keharusan, tetapi baik untuk dimiliki.
Menjadikan GCG sebagai budaya perusahaan. Mengapa GCG perlu dijadikan budaya perusahaan Karena sesuatu yang telah menjadi perilaku keseharian dan menjadi budaya, memiliki potensi implementasi yang lebih baik; sebab GCG secara otomatis akan menjadi patokan dalam beraktivitas. Karena budaya perusahaan merupakan sesuatu yang harus dibentuk dan merupakan akumulasi dari sebuah perjalanan, maka menjadikan GCG sebagai budaya perusahaan tidak seperti membalikkan telapak tangan. Agar GCG dapat menjadi budaya perusahaan, sebelumnya perlu dilakukan beberapa tahapan, Pertama perusahaan perlu menetapkan value yang dianut oleh perusahaan dalam melakukan aktivitas usahanya. Value perusahaan ini harus menggambarkan sikap moral perusahaan. Agar sikap moral tersebut dapat benar-benar diimplementasikan dalam setiap aktivitas usaha, maka perusahaan harus merumuskan etika berbisnis/berusaha yang disepakati bersama. Etika bisnis inilah yang menjadi tolok ukur dalam setiap perilaku. Pelaksanaan etika bisnis yang berkesinambungan akan dapat membentuk budaya perusahaan yang merupakan cerminan dari sikap moral yang dianut perusahaan. Agar setiap individu dalam perusahaan dapat lebih mengerti akan perilaku apa yang diharapkan, sikap moral dan etika berbisnis ini perlu dijabarkan dalam sebuah pedoman perilaku. Dokumen ini juga akan bermanfaat sebagai acuan dalam melakukan interaksi usaha, jika karyawan dihadapkan pada kondisi yang mungkin memiliki potensi pelanggaran terhadap etika berbisnis.
Dalam upaya membangun budaya perusahaan berlandaskan CGG, tidak perlu dibuat aturan-aturan khusus untuk memaksa setiap orang menerapkan GCG. Aturan khusus yang perlu dibuat, mungkin hanya terbatas pada diwajibkannya setiap anggota Direksi, Komisaris dan Karyawan untuk memberikan komitmennya dalam menerapkan etika berbisnis yang baik, dan bentuk komitmen tersebut dapat dituangkan dalam sebuah pernyataan yang harus dibuat secara periodik; diberlakukannya sanksi atas pelanggaran etika, serta pengaturan untuk melindungi pelapor yang melaporkan adanya perilaku yang tidak etis. Tetapi, aturan khusus lainnya yang melampaui hal-hal diatas, tidak perlu diatur dengan rinci. Karena jika hanya berlandaskan pada aturan, maka yang akan dicapai hanya “kepatuhan pada peraturan”; sementara GCG lebih dari sekedar “patuh pada peraturan”. GCG membutuhkan kesadaran dan komitmen, serta integritas dari semua pihak yang terlibat dalam aktivitas usaha.
Adanya Dukungan Kerangka Hukum dan Public Governance. Banyak hal yang masih harus dibenahi agar GCG benar benar dapat diterapkan. Penerapan GCG perlu didukung oleh adanya lingkungan yang kondusif serta peraturan yang dapat mengakomodir GCG. Tentunya kerangka ini perlu mendapatkan dukungan penuh dari Regulator. Dengan adanya kerangka hukum yang dapat menunjang pelaku usaha serta dengan adanya penerapan hukum yang konsisten, maka pelaku usaha dapat lebih mudah dalam menerapkan GCG. Tingkat penerapan awal GCG dilihat dari pemenuhan peraturan perundang-undangan, sehingga kerangka dasar penerapan GCG dapat dikembangkan dari kerangka hukum tersebut.
Disamping itu, perlu adanya dukungan dari lingkungan di tempat perusahaan beroperasi. Dalam berinteraksi dengan pihak eksternal, perusahaan dihadapkan pada banyak pihak yang mungkin sebagian diantaranya tidak bekerja berdasarkan prinsip-prinsip GCG, termasuk dalam etika kerja; sehingga kesadaran dan kesungguhan dari perusahaan saja belum cukup. Sudah bukan rahasia lagi bahwa di Asia, dan Indonesia pada khususnya, banyak sekali praktik pemberian “kickback” kepada supplier, konsumer dan bahkan kepada regulator agar urusan pekerjaan dapat berjalan dengan mulus. Tanpa lingkungan yang kondusif, tantangan dalam penerapan GCG akan cukup besar. Good public governance dalam hal ini mempunyai peran penting dalam mendukung keberhasilan penerapan GCG di perusahaan.


 

KENDALA-KENDALA PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Kendala paling mendasar dalam penerapan GCG di Indonesia berhubungan dengan moral dan etika. Misalnya, perusahaan  publik di Indonesia umumnya berpola kepemilikan yang terkonsentrasi dengan basis hubungan keluarga (family ownership)  serta pada umumnya bergabung dalam suatu jaringan kelompok bisnis berbasis keluarga (family business groups) Dengan bercirikan keluarga sebagai pemilik mayoritas perusahaan, maka kekuatan tawar menawar pihak ini menjadi sangat kuat. Terlepas dari efektif atau tidaknya perangkat  hukum dan peraturan yang ada mampu membatasi ruang gerak mereka, tanpa basis moral dan etika yang kuat, peluang untuk mendahulukan kepentingan kelompok pemilik mayoritas dengan mengorbankan kepentingan pihak lain, misalnya pemilik minoritas, bahkan masyarakat/public menjadi sangat besar




PERAN AKUNTANSI DALAM GOOD CORPORATE GOVERNANCE
 
Agency Problem lahir dari adanya pemisahan antara manajemen dan penyandang dana, dimana manajer berusaha untuk meningkatkan incentive mereka dalam rangka memakmurkan dirinya dan menagabaikan tugas utamanya yaitu memaksimumkan kemakmuran pemilik. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah pengeluaran untuk dirinya manajemen. Sistim akuntansi keuangan menyediakan informasi yang penting untuk Governance Mechanisme, yang membantu memecahkan masalah keagenen. Penggunaan informasi akuntansi dalam Governance Mechanisms bisa dalam bentuk implisit atau eksplisit. Penggunaan perjanjian yang berbasiskan dasar akuntansi dalam kontrak obligasi adalah salah contoh dari penggunaan informasi akuntansi secara eksplicit. Penggunaan informasi ekuntansi untuk menyeleksi perusahaan yang akan dijadikan target takeover adalah contoh dari penggunaan informasi akuntansi secara implisit.
Informasi akuntansi keuangan merupakan produk dari proses Governance. informasi akuntansi keuangan dihasilkan oleh manajemen dan manajemen mengetahui informasi ini akan digunakan sebagai input dalam proses Governance. dibawah ini dijelaskan mengenai informasi akuntansi keuangan sebagai produk dari proses Governance, penggunaan informasi akuntansi secara eksplisit dan implisit.
·         Informasi akuntansi keuangan sebagai produk dari proses governance. Proses bagaimana informasi akuntansi lahir dan merupakan tanggung jawab dapat dilihat pada kasus Amerika dan bisa aplikasikan kenegara lainnya. Proses pelaporan keuangan bagi perusahaan umumnya diatur oleh pemerintah atau sistim hukum yang berlaku (kalau di Amerika SEC). selanjut harus mengaju pada prinsip Akuntansi Yang Berterima Umum (GAAP). Laporan keuangan juga akan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (audit eksternal) untuk di periksa apakah dalam menyiapkan laporan keuangan sudah sesuai dengan aturan dan prinsip yang berlaku. Perusahaan kemudian menunjuk Audit Committtee dari keanggotaan Board of Director, yang mengawasi penyelesaian laporan keuangan dan berkomunikasi dengan auditor eksternal sebagai wakil dari investor. Banyak peneliti yang mengkaji bagaimana kualitas sistim pelaporan keuangan dihubungkan dengan bentuk dan mekanisme Governance lainnya (diantaranya adalah La Porta, Lopez-De-Silanes, Shleifer and Vishny, 1998; Bushman, Chen, Engel dan Smith, 2000). Penelitian lainnya juga mengembangkan literature tentang isu lainya yang berhubungan dengan kualitas sistim pelaporan keuangan. Literature ini di bagi atas tiga kelompok. Kelompok pertama mengkaji tentang kualitas disclosure dengan biaya modal (contoh, Lang and Lundholm, 1996; Botosan, 1997; dan Botosan dan Plumlee, 2000). Corporate Governance dijadikan sebagai ukuran apakah perusahan yang dijadikan sample trasfaran atau tidak, khususnya terhadap kreditor. Hasil peneitiannya tidak bervariasi, ada yang menemukan tingkat disclosure mempengaruhi biaya hutang dan sebagian lagi tidak. Kelompok kedua adalah menguji tentang efektivitas mekanisme pengawasan spesifik terhadap proses pelaporan keuangan. Area  ini termasuk kajian tentang kualitas audit (contoh, Becker, DeFond, Jiambalvo dan Subramanyam, 1998; Francis, Maydew dan Sparks, 1999) dan kualitas BOD dan Komite Audit (contoh, Beasley, 1996; Dechow, Sloan dan Sweeney, 1996; Carcello dan Neal, 2000; Peasnell, Pope dan Young, 2000). Dan kelompok ketiga mengkaji sebab dan akibat gagalnya proses pelaporan keuangan penelitian ini memfokuskan pada factor-faktor yang mempengaruhi manajemen earning (contoh, Rangan, 1999; Teoh, Wong and Welch, 1999) dan manipulasi earning (contoh., Feroz, Park dan Pastena, 1991; Dechow, Sloan dan Sweeney 1996).

·         Penggunaan Informasi Akuntansi secara eksplisit dalam Corporate Governance Penggunaan informasi akuntansi secara eksplisit dalam kontrak antara manajemen dan individu atau lembaga yang memberikan dana pada perusahaan merupakan contoh dari penggunaan informasi akuntansi dalam mekanisme Governance. khususnya penggunaan informasi akuntansi sebagai alat ukur kinerja manajemen pada kontrak mengenai sistim kompensasi untuk manajemen. Ini merupakan gambaran peran informasi akuntansi dalam mekanisme Governance. kompensasi yang berbasiskan laporan keuangan hanya merupakan bagian kecil dari insentif yang ada. Insentif yang berdasarkan kenaikan harga saham cendrung sebagai dasar mereka investor untuk memberikan insentif pada manajemem (penelitian tentang isu ini telah dilakukan peneliti diantaranya adalah , Murphy, 1985; Core, Guay and Verrecchia, 2000). Berlawanan dengan literature tentang peran informasi akuntansi dalam kompensasi diatas, penggunaan informasi akuntansi secara eksplisit pada perjanjian hutang masih berlanjut. Penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Smith dan Warner (1979) dan Leftwich (1983) mendokumentasikan keberadaan dan fungsi akuntansi dalam perjanjian kontrak hutang antara kreditor dan perusahaan.. penelitian pada area ini memfokuskan pada pada implikasi pemilihan metode akuntansi yang digunakan (contoh., Press dan Weintrop, 1990; Sweeney, 1994). Tapi, peran informasi akuntansi pada kontrak keuangan telah terus berlangsung perkembangannya dan mendapat sambutan yang mengembirakan, khususnya perjanjian peminjaman dan pelunasan hutang. Contoh penggunaan informasi akuntansi adalah berapa bunga harus dikenakan pada perusahaan didasarkan atas kekuatan keuangan perusahaan dan ini didasarkan atas data akuntansi. Data akuntansi di analisa yang dijadikan rasio-rasio keuangan dan dikelompokan atas beberapa aspek diantaranya likuiditas, solvabiltias, efektivitas dan profitabilitas.

·         Pengunaan informasi akuntansi secara implisit dalam Corporate Governance
Penggunaan informasi akuntansi secara implisit dalam mekanisme Corporate Governance merupakan peran informasi akuntansi yang paling penting. Dalam kontek ini, valuasi dan peran akuntansi menjadi saling berhubungan. Dalam konteks bahwa investor bersedia berinvestasi pada perusahaan merupakan fungsi information efficiency dan tingkat likuiditas pasar modal. Sehingga, penelitian akuntansi yang berbasiskan pasar modal dan memfokuskan penggunaan informasi akuntansi dalam penilaian surat-surat berharga merupakan implikasi pada isu Corporate Governance. Tapi, daripada memfokuskan pada peran governance akuntansi melalui peranya dalam menfasilitasi informational efficiency harga saham. Bahkan informasi akuntansi kelihatannya secara langsung memfasilitasi jalanya mekanisme Governance spesifik. Penelitian empiris mendukung bahwa informasi akuntansi secara implisit digunakan dalam mekanisme Governance yang beragam. Ada dua area paling, kajian tentang peran informasi akuntansi dalam mekanisme Corporate Governance yaitu Legal Protection dan Large Investor. Dalam kategori legal protection, beberapa penelitian telah mendokumentasikan peran informasi akuntansi dalam menjalankan hak legal investor dalam melawan menajem. Investor tidak bisa membawa masalah tersebut ke pengadilan karena manajemen telah melakukan kecurangan atau kegiatan yang tidak sesuai dengan apa yang digariskan oleh investor (pemilik). Karena sistim pelaporan keuangan adalah mekanisme internal utama yang memberi fasilitas komunikasi antara manajemen dan investor. Penelitian mendokumentasikan bahwa masalah akuntansi dan pengungkapan sangat berhubungan dengan perkara hokum pemegang saham dan bahwa manajemen melakukan seolah-olah mereka memenage strategi pelaporan keuangan untuk mengurangi biaya yang berhubungan dengan perkara hukum investor (contoh ., Kellogg, 1984; Francis, Philbrick dan Schipper, 1994; Skinner, 1994; Skinner 1996). Informasi akuntansi juga memainkan peran penting dalam menjalankan hak kreditor dalam kasus tidak di lunasinya hutang perusahaan atau dalam kondisi bankrut. Dalam kategori kedua, informasi akuntansi secara implisit memfasilitasi jalanya mekanisme Governance adalah large investor. Large investor bisa mempengaruhi tindakan manajemen melalui Board of Diretor, yaitu atoritas untuk menggunakan manajemen atau meberhentikannya . penelitian akademik memyimpulkan bahwa BOD
menggunaka kenerja laba akuntansi sebagai input untuk keputusan memberhentikan manajemen (Weisbach,1988). Tapi, dalam banyak kasus, investor yang memiliki saham besar tidak mempunyai hak suara mayoritas di dewan komisaris dan mungkin harus mengambil tindakan yang lebih drastis seperti takeover atau proxy contest untuk merebut control BOD dan mendisiplinkan manajemen. Penelitian juga menemukan bahwa pengukuran kinerja akuntansi berhubungan keputusan takeover (Palepu,1986), proxy contests (DeAngelo, 1988), dan institutional investor activism (Opler dan Sokobin, 1998). Selain Penelitian yang dilakukan oleh peneliti diatas, banyak peneliti lain yang menguji pengaruh institutional investor activism terhadap kinerja perusahaan telah banyak dilakukan dengan menggunakan informasi akuntansi. Secara umum melaporkan tidak ada bukti yang meyakinkan aktivisme investor mempengaruhi kinerja perusahaan. Walaupun sebagian kecil melaporkan bahwa ada pengaruh perusahaan yang menjadi target CalPERS terhadap tingkat pengembalian jangka panjang (Nesbitt, 1994). Tapi hasil Nesbitt (1994) di kounter oleh Guercio dan Hawkins (1997) yang menyimpulkan bahwa masih ada perusahaan yang menjadi target CalPERS (perusahaan yang mempunyai kinerja tidak bagus) mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat pengembalian. Penelitian yang menemukan tidak adanya pengaruh aktivisme investor institusi terhadap kinerja perusahaan dilakukan banyak peneliti yaitu Daily, John, Elstrand dan Dalton (1996), Bear dan Sias (1997), Opler dan Sokobin`s (1997), Carleton, Nelson dan Weisbach (1997) dan lain-lain. Dari penelitian-penelitian tersebut, tak seorang penelitipun berani menyimpulkan bahwa aktivisme investor institusi memberikan dampak positif terhadap kinerja perusahaan.
Walaupun aktivisme investor institusi tidak berdampak positif terhadap kinerja perusahaan, tapi aktivisme ini bisa merubah budaya perusahaan sehingga mempengaruhi kinerja perusahaan secara keseluruhan. Seperti yang dikemukan oleh Gordon (1997), Black dan Coffee (1994), dan Coffee (1997). Perubahan budaya memang tidak dapat di uji secara langsung. Tapi melalui perubahaan Governance yang didukung oleh institusi akan berdampak terhadap kinerja perusahaan. Bukti empiris menyimpulkan bahwa sudah tiga perubahan yaitu (i) perubahan komposisi dewan komisaris, (ii)komite nominasi dan kompensasi yang berasal dari dewan komisaris independen dan (iii) pemisahan posisi pimpinan dewan komisaris dengan CEO. Investor institusi sangat mendukung yang duduk di dewan komisaris adalah komisaris independen. Tapi tidak ada jaminan dengan banyak komposisi komisaris independen dan pemisahan posisi pimpinan dewan komisaris dengan CEO akan meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan (Klein, 1997b), Brickley, Coles, dan Jarrell (1997).



KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas dapat di simpulkan bahwa informasi akuntansi mensuplai input yang paling penting ke dalam mekanisme Corporate Governance. informasi akuntansi secara implisit digunakan baik untuk menunjukan apakah aksi governance melawan manajemen dibutuhkan dan untuk membantu menentukan pengeluaran untuk stakeholder lainnya jika terjadi masalah hukum dan penurunan kinerja keuangan





LAMPIRAN     nomor 01

PERNYATAAN SIKAP IAI:

PERANAN AKUNTAN DALAM PENATAAN ULANG SISTEM FINANSIAL GLOBAL PASCA KRISIS


Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menyampaikan pernyataan profesi pada Konvensi Nasional Akuntansi (KNA) VI di Bandung, 14 Agustus 2009.
Fungsi akuntan masa depan bukanlah lagi sekedar pemeriksa atau penyedia informasi keuangan, tetapi menjadi bagian penting dari pembangunan ekonomi dan sosial untuk menciptakan Indonesia yang lebih berkeadilan dan makmur.
Dengan kesadaran tinggi akan tanggung jawab dan peran kami sebagai profesi dalam penataan ulang sistem finansial global pascakrisis, kami para Akuntan Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) melalui Konvensi Nasional Akuntansi VI di Bandung, 13 dan 14 Agustus 2009 menyatakan sikap profesi sebagai berikut:
1)      Krisis finansial global disebabkan oleh perilaku keserakahan korporasi, good corporate governance yang buruk, serta disclosure dan transparansi yang tidak memadai. Pembentukan karakter perusahaan yang ikhsan dan dapat dipercaya menjadi keharusan. Akuntan Indonesia sepatutnya dapat merancang dan menjalankan fungsi penyediaan informasi akuntansi berupa Penyusunan Laporan Keuangan dengan mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK) serta mendorong penetapan regulasi pemerintah terkait sistem finansial yang menjamin pelaksanaan good corporate governance.

2)      Pasar Modal sangat terkena krisis finansial global perlu melakukan pembenahan berbagai regulasi. IAI siap membantu Bapepam & Bursa Efek Indonesia untuk ikut serta mempersiapkan perbaikan regulasi guna meningkatkan sistem pengawasan dan kualitas pelaporan keuangan.

3)      Salah satu sektor perekonomian yang berkembang saat ini di Indonesia dan dunia adalah sektor UKM dan ekonomi berbasis syariah. IAI berkomitmen mendukung pengembangan sektor UKM dan ekonomi berbasis syariah tersebut dengan cara menyusun dan mengimplementasikan SAK Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (ETAP) untuk Organisasi UKM dan ETAP, serta SAK Syariah untuk Organisasi berbasis Syariah. Akuntan Indonesia juga bertekad untuk mempromosikan SAK syariah tersebut menjadi SAK syariah yang diadopsi secara global.

4)      IAI bertekad untuk menuntaskan proses konvergensi standar akuntansi keuangan Indonesia (PSAK) dengan standar akuntansi keuangan internasional (IFRS) dengan target waktu akhir tahun 2012.

5)      Para akuntan pemerintah (termasuk akuntan di pemerintah daerah) perlu berinisiatif dan didorong untuk melakukan pergeseran peran mereka dari sekedar menjadi bookkeeper menjadi akuntan manajemen dan partner strategis dari Kepala daerah/Kepala pemerintahan.

6)      Penyediaan informasi akuntansi yang relevan dan andal untuk pengambilan keputusan adalah keharusan dalam globalisasi ekonomi. Akuntan publik seharusnya memberikan nilai tambah kepada perusahaan dengan orientasi tidak lagi hanya memberikan opini atas kewajaran Laporan Keuangan, namun juga terhadap keefektifan sistem pengendalian internal perusahaan dan manajemen resiko serta memastikan perusahaan telah menjalankan operasinya sesuai kaidah Good Corporate Governance.

7)      Mendukung Reformasi perpajakan yang sedang dilaksanakan di Indonesia sebagai bagian dari komponen untuk menjamin keadilan dan kemakmuran bangsa. IAI siap mengawal reformasi perpajakan yang dapat meningkatkan kepercayaan dan kepatuhan wajib pajak sekaligus mampu meningkatkan penerimaan negara.

Menindaklanjuti pernyataan sikap profesi tersebut, IAI merekomendasikan hal-hal berikut ini:
1)      Penataan sistem finansial global dilakukan secara menyeluruh dengan ruang lingkup penataan sbb:
a)      Penataan regulasi, dalam hal ini peraturan perundang-undangan mengenai sistem keuangan di Indonesia dengan fokus pada penegakan Good Corporate Governance pada organisasi bisnis di Indonesia.
b)      Penyesuaian informasi keuangan dengan globalisasi ekonomi, yaitu dengan meningkatkan mutu kualitas Laporan Keuangan, sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan Indonesia yang harmoni dengan Standar Akuntansi Keuangan secara Internasional.
c)      Penataan tugas, fungsi, dan peranan kelembagaan dengan mengacu pada kerangka pengendalian internal institusi/organisasi/lembaga keuangan di Indonesia sehingga dapat menghindari terjadinya praktek kecurangan, ketidakekonomisan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan dalam operasi institusi/organisasi/lembaga keuangan.
d)     Penataan karakter korporasi yang ikhsan dan bertanggungjawab secara sosial

2)      Reformasi keuangan sektor publik sebagai bagian penting dari reformasi birokrasi diarahkan untuk menyelaraskan kemampuan sektor publik dalam mengawasi dan mengawal dunia bisnis serta optimasi pelayanan publik, dengan cara menegakkan akuntabilitas, transparansi, dan kepercayaan publik.
Hal-hal yang harus dilakukan:
a)      Para akuntan pemerintah (termasuk akuntan di pemerintah daerah) berinisiatif dan memfasilitasi pergeseran peran dari bookkeeper menjadi akuntan manajemen dan partner strategis dari Kepala Daerah/Kepala Pemerintahan.
b)      Harus ada proses penetapan standar kompetensi akuntan sektor publik, yang melibatkan perguruan tinggi penyelenggara program studi akuntansi, IAI serta lembaga pemerintah (pusat dan daerah).
c)      Perguruan tinggi penyelenggara program studi akuntansi diminta memberikan perhatian lebih pada pendidikan akuntansi sektor publik, baik jenjang D3, S1 dan Pascasarjana, sesuai kebutuhan akan akuntan yang sangat meningkat.

3)      Demi tercapainya target konvergensi standar akuntansi keuangan pada akhir tahun 2012, maka:
a)      Akuntan publik perlu meningkatkan kompetensi sehubungan dengan perubahan SAK, memperbaharui SPAP dan menyesuaikan pendekatan audit yang berbasis IFRS.
b)      Akuntan manajemen di perusahaan perlu membentuk satuan kerja atau tim sukses konvergensi IFRS yang bertugas memperbaharui pengetahuan akuntan manajemen, melakukan gap analysis dan menyusun road map konvergensi IFRS serta berkoordinasi dengan IAI untuk optimasi sumber daya anggotanya.
c)      Akuntan pendidik di perguruan tinggi perlu membentuk tim sukses konvergensi IFRS untuk memperbaharui pengetahuannya, merevisi kurikulum dan silabus serta melakukan berbagai penelitian terkait.
d)     Regulator perlu melakukan penyesuaian regulasi yang terkait dengan pelaporan keuangan dan perpajakan serta melakukan upaya pembinaan dan supervisi terhadap profesi yang terkait dengan pelaporan keuangan seperti penilai dan aktuaris.
e)      Asosiasi industri perlu menyusun pedoman akuntansi industri yang sesuai dengan perkembangan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), membentuk forum diskusi yang secara intensif membahas berbagai isu sehubungan dengan dampak penerapan SAK dan secara proaktif memberikan masukan dan komentar kepada Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar