PERANAN AKUNTANSI DALAM
TERLAKSANANYA
PRINSIP-PRINSIP GCG DAN IKLIM
BISNIS YANG BERETIKA
Disadurkan Oleh;
ISKANDARSYAH SATRIYA., SE., SH., MBA., BKP., Ak
Abstrak
Berbagai
kasus telah mencuat akibat adanya sistem tata kelola perusahaan yang buruk.
Peran akuntansi tidak terlepas dari masalah-masalah tersebut karena akuntansi
merupakan bahasa bisnis. Artinya, akuntansi bertanggung jawab dalam memberikan
informasi yang relevan danbermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh
karena itu, peran akuntan dalam mewujudkan good
corporate governance (GCG) juga melekat dengan penerapan kelima prinsip GCG
tersebut. Terkait dengan prinsip kewajaran (fairness), suatu informasi
akuntansi disebut wajar apabila disajikan sesuai dengan Prinsip Akuntansi
Berterima Umum di Indonesia. Tingkat kewajaran tersebut berasal dari opini yang
diberikan oleh akuntan publik, dalam hal ini auditor, berdasarkan petimbangan
profesional mereka. Prinsip ke dua, yaitu akuntabilitas melibatkan peran
akuntan yang ada di posisi komite audit. Komite audit bertugas melindungi kepentingan
pihak-pihak yang berkepentingan atas reliabilitas dan integritas laporan
keuangan perusahaan. Prinsip GCG berikutnya adalah transparansi. Prinsip ini
menekankan pada kualitas informasi yang disajikan perusahaan. Untuk itu
informasi yang ada dalam perusahaan harus diukur, dicatat, dan dilaporkan oleh
akuntan sesuai dengan prinsip dan standar akuntansi yang berlaku. Prinsip GCG
yang ke empat yaitu responsibility, prinsip ini berhubungan dengan
tanggungjawab perusahaan sebagai anggota masyarakat yaitu dengan cara
mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan.
Akuntansi berperan untuk menetapkan standar yang dapat mengakomodasi masalah
ini, yaitu menetapkan PSAK 1 tentang
Penyajian Laporan Keuangan. Dalam PSAK tersebut disebutkan bahwa perusahaan
dapat menyajikan laporan tambahan yang menjelaskan bentuk tanggung jawab sosial
perusahaan terhadap lingkungannya. Peran akuntan untuk menegakkan prinsip ini
semakin berkembang dengan adanya Indonesia Sustainability Reporting Award
(ISRA) yang diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, Bapepam, BEJ,
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Forum for Corporate Governance in
Indonesia pada bulan Juni 2005. Prinsip yang terakhir adalah indpendensi,
masalah independensi merupakan fokus utama bagi para akuntan publik atau
auditor eksternal. Untuk dapat terlibat dalam keempat prinsip yang telah
dijelaskan sebelumnya, hal pertama yang harus diperhatikan oleh akuntan adalah
masalah independensi. Meskipun akuntan tersebut dipekerjakan oleh manajemen
perusahaan, tetapi tanggung jawab mereka adalah kepada masyarakat umum.
Sehingga akuntan memiliki kode etik profesi untuk menjaga profesionalitas
mereka dalam berkarir.
PENGERTIAN
CORPORATE GOVERNANCE
OECD
(2004) dan FCGI (2001) mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat
peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak
kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan
ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan
kata lain system yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Dari definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa corporate governance merupakan suatu mekanisme yang
dapat digunakan untuk memastikan bahwa supplier keuangan atau pemilik modal
perusahaan memperoleh pengembalian atau return dari kegiatan yang dijalankan
oleh manajer, atau dengan kata lain bagaimana supplier keuangan perusahaan
melakukan pengendalian terhadap manajer.
Lebih jauh,
Corporate Governance concern dengan kepentingan stakeholder lainnya
(Lukviarman, 2000) Salah satu cara yang paling efisien dalam rangka untuk
mengurangi terjadinya konflik kepentingan dan memastikan pencapaian tujuan
perusahaan, diperlukan keberadaan peraturan dan mekanisme pengendalian yang
secara efektif mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta kemampuan
untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda.
Mekanisme (pengendalian) internal dalam perusahaan antara lain struktur
kepemilikan dan pengendalian yang dilakukan oleh dewan komisaris dalam hal ini
komposisi dewan (World Bank,1999) Melalui mekanisme kepemilikan institusional,
efektivitas pengelolaan sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui
dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba.
Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak
manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga mengurangi tindakan
manajemen melakukan manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki
oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak
menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen.
Lebih jelasnya
Good Corporate governance adalah sistem atau cara bagaimana sebuah organisasi
dikelola dan diarahkan. Penerapan good corporate governance pada sebuah
perusahaan akan berpengaruh terhadap kebijakan strategis maupun cara perusahaan
menjalankan praktik-praktik bisnisnya. Perubahan tersebut secara langsung akan
berdampak pada pencapaian kinerja secara keseluruhan. Sehingga saat ini good
corporate governance diyakini sebagai kontributor utama bagi peningkatan
kinerja perusahaan.
Dalam kompetisi
global, dimana nilai-nilai pemegang saham (shareholders value) menjadi
perhatian utama dan semakin membesarnya keterlibatan institutional investor,
agenda good corporate governance akan menjadi isu sentral perusahaan. Kesadaran
dan keyakinan terhadap penerapan good corporate governance juga memungkinkan
para Direktur dan Dewan Komisaris untuk mencapai hasil yang terarah dan
maksimal.
Selain itu Good
Corporate Governance juga bisa berfungsi sebagai alat untuk menilai quality of
management dari sebuah kebijakan perusahaan. Dengan demikian good corporate
governance sebenarnya adalah penerapan sistem yang bisa menjamin
keberlangsungan bisnis perusahaan dengan lebih baik
PRINSIP
– PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Terdapat lima prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi
para pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility,
Indepandency dan Fairness yang biasanya diakronimkan menjadi TARIF.
Penjabarannya sebagai berikut :
1. Transparency (keterbukaan informasi)
Secara sederhana bisa diartikan
sebagai keterbukaan informasi. Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan
dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada
segenap stakeholders-nya.
Transparansi
(transparancy) yang meliputi
a)
Pengungkapan informasi yang bersifat
penting
b)
Informasi harus disiapkan, diaudit dan
diungkapkan sejalan dengan pembukuan yang berkualitas
c)
Penyebaran informasi harus bersifat
adil, tepat waktu dan efisien
2. Accountability (akuntabilitas)
Yang dimaksud dengan akuntabilitas
adalah kejelasan fungsi, struktur, system dan pertanggungjawaban elemen
perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada
kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan wewenang serta tanggung jawab antara
pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.
Dapat dipertanggungjawabkan
(accountability) yang meliputi pengertian bahwa:
a)
Anggota dewan direksi harus bertindak
mewakili kepentingan perusahaan dan para pemegang saham
b)
Penilaian yang bersifat independent
terlepas dari manajemen
c)
adanya akses terhadap informasi yang
akurat, relevan dan tepat waktu
3. Responsibility (pertanggung jawaban)
Bentuk pertanggung jawaban
perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku,
diantaranya; masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan
kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang
kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan menerapkan prinsip
ini, diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan
operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggung jawab kepada
shareholder juga kepada stakeholders-lainnya.
Pertanggungjawaban (responsibility)
meliputi :
a)
Menjamin dihormatinya segala hak
pihak-pihak yang berkepentingan
b)
Para pihak yang berkepentingan harus
mempunyai kesempatan untuk mendapatkan ganti rugi yang efektif atas pelanggaran
hak-hak mereka
c)
Dibukanya mekanisme pengembangan
prestasi bagi keikutsertaan pihak yang berkepentingan
d)
Jika diperlukan, para pihak yang
berkepentingan harus mempunyai akses terhadap informasi yang relevan.
4. Indepandency (kemandirian)
Intinya, prinsip ini mensyaratkan
agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan
tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan
peraturan-peraturan yang berlaku.
Meliputi
: independensi untuk auditor eksternal.
5. Fairness(kesetaraan dan kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya
perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Diharapkan fairness dapat menjadi faktor
pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di
antara beragam kepentingan dalam perusahaan
Keadilan (fairness) yang meliputi :
a)
Perlindungan bagi seluruh hak pemegang
saham
b)
Perlakuan yang sama bagi para pemegang
saham.
PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Perusahaan
dijalankan dalam sebuah kerangka yang didasarkan oleh peraturan
perundang-undangan, arahan dari pemegang saham dan juga dengan mempertimbangkan
kepentingan stakeholders. Inilah mengapa setiap perusahaan memerlukan kerangka
Good Corporate Governance (GCG) yang sesuai dengan karakteristik dan kondisi
usahanya. Dalam menyusun kerangka tersebut dan menyiapkan medium penerapannya,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh perusahaan. Tahap dasar dalam
keseluruhan penerapan GCG yang efektif adalah adanya pemahaman yang mendalam
mengenai GCG, dan ini harus dimulai dari komitmen pemegang saham pengendali dan
oleh mereka yang menjadi pimpinan di dalam perusahaan, yaitu Direksi dan Dewan
Komisaris. GCG harus dipahami sebagai sebuah proses yang dapat meningkatkan
nilai perusahaan bagi pemegang saham, yang antara lain terwujud dari pemastian
kesinambungan usaha dan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang. Dengan
adanya pemahaman tersebut, perusahaan dapat mulai melalukan berbagai tahapan
pembenahan dan pengembangan situasi yang dapat mendukung penerapan GCG yang
efektif.
Pembenahan Struktur Governance. Agar GCG dapat diterapkan,
perlu ada struktur yang dapat mendukung. Perusahaan harus memiliki organ
perusahaan yang dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan atas dasar prinsip bahwa masing-masing organ mempunyai kemandirian
dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya semata-mata untuk
kepentingan perusahaan. sebagai organ yang merupakan wadah para pemegang saham
untuk mengambil keputusan penting berkaitan dengan modal yang ditanamnya di
perusahaan. Setiap organ memiliki peranannya masing-masing dalam rangka
menerapkan GCG di sebuah perusahaan. Ketiga organ perusahaan tersebut harus ada
secara bersamaan, dan tidak dapat dibentuk secara bertahap.
Bentuk struktur yang dibutuhkan tentunya berbeda dari satu
perusahaan dengan perusahaan yang lain, dan harus disesuaikan dengan kebutuhan,
karakteristik usaha dan tuntutan regulasi dimana perusahaan tersebut
beroperasi. Sepanjang struktur organisasi tersebut disusun berlandaskan prinsip
pengendalian internal, sesuai bidang usaha perusahaan dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundangan yang berlaku, maka GCG akan dapat diterapkan. Yang
perlu menjadi perhatian bukan pada bentuk dari struktur organisasi itu sendiri,
tetapi pada pemastian bahwa struktur yang ada dapat mengakomodasi penerapan
prinsip-prinsip GCG, masing-masing organ memiliki independensi dalam
melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya semata-mata untuk kepentingan
perusahaan. Dari kaca mata GCG, bisa jadi karena menyalah artikan pelaksanaan
prinsip independensi, dimana struktur governance yang sudah baik tidak diikuti
dengan proses governance yang baik. Seperti kita ketahui sistem hukum Indonesia
mangatur perseroan terbatas, pengurusannya didasarkan pada sistem dua dewan,
Direksi dan Dewan Komisaris. Dalam pengurusan perusahaan semestinya keduanya
merupakan dwi tunggal dalam menyusun dan melaksanakan visi, misi, tata nilai
maupun strategi perusahaan, semata-mata demi kepentingan perusahaan. Diluar
kesepakatan itu keduanya wajib melaksanakan peran, fungsi, tanggung jawab dan
kewenangannya secara independen, juga semata-mata demi kepentingan perusahaan.
Dari pembelajaran tersebut, hal penting yang perlu diperhatikan adalah, dalam
penyusunan struktur, fungsi dan tanggung jawab dari masing-masing organ, tidak
ada satu organ yang dapat mendominasi organ lainnya. Harus dipastikan adanya
keseimbangan dalam kewenangan (balance of power) sehingga tidak dapat terjadi
adanya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) serta pemastian adanya
mekanisme “check and balance” dalam aktivitas manajemen. Struktur governance
yang sudah baik harus juga diikuti oleh pelaksanaan mekanisme governance yang
juga baik.
Pembenahan
Mekanisme Governance Perusahaan. Setelah struktur yang ada dibuat untuk dapat
mendukung penerapan GCG, maka perlu dipastikan agar mekanisme kepengurusan
perusahaan juga dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.
Keputusan yang diambil dalam RUPS harus didasarkan pada
kepentingan usaha perusahaan dalam jangka panjang. RUPS dan atau pemegang saham
tidak dapat melakukan intervensi terhadap tugas, fungsi dan wewenang Dewan
Komisaris dan Direksi, tanpa mengurangi wewenang RUPS untuk menjalankan haknya
sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, termasuk untuk
melakukan penggantian atau pemberhentian anggota Dewan Komisaris dan atau
Direksi. Dewan Komisaris bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk
melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta memastikan
bahwa perusahaan melaksanakan GCG. Namun demikian, Dewan Komisaris tidak boleh
turut serta dalam mengambil keputusan operasional. Direksi bertugas dan
bertanggungjawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan. Masing-masing
anggota Direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan
pembagian tugas dan wewenangnya. Namun, pelaksanaan tugas oleh masing-masing
anggota Direksi tetap merupakan tanggung jawab bersama. Selain itu perlu
diingat bahwa kedudukan masing-masing anggota Dewan Komisaris/Direksi adalah
setara. Sehingga tugas Komisaris Utama/Direktur Utama sebagai primus inter
pares adalah mengkoordinasikan kegiatan Dewan Komisaris/Direksi, dan bukan
sebagai individu yang memiliki wewenang lebih dibandingkan anggota
Komisaris/Direktur lainnya. Di lain pihak, pemegang saham juga bertanggung
jawab untuk melakukan pengawasan tidak langsung, melalui penyampaian pendapat
yang bertanggung jawab dalam RUPS.
Selain dari pengaturan wewenang, juga perlu dipastikan adanya
mekanisme komunikasi yang memadai, sehingga masing-masing organ perusahaan
dapat melakukan fungsinya dengan baik, dan menerima informasi dengan lengkap,
akurat dan tepat waktu (tentunya sesuai dengan kebutuhan dan kewenangan yang
diatur untuk memungkinkan pemenuhan fungsinya) agar setiap organ dapat
mengambil keputusan yang tepat untuk kepentingan perusahaan dalam jangka
panjang.
Dewan Komisaris dan Direksi juga harus memiliki kesamaan
pandangan terhadap visi, misi, tata nilai dan strategi perusahaan. Hal ini
diperlukan agar keduanya dapat bekerja sama dalam memelihara kesinambungan
usaha jangka panjang. Baik Direksi maupun Dewan Komisaris harus menjaga
kelangsungan usaha perusahaan, dengan memastikan adanya pengendalian internal
dan manajemen risiko yang memadai, tecapainya return yang optimal untuk
pemegang saham, dan terlindunginya kepentingan stakeholders secara wajar. Untuk
membantu pelaksanaan tugasnya, baik Direksi maupun Dewan Komisaris dapat
membentuk unit atau Komite-Komite. Beberapa contoh dari Komite yang dibentuk
oleh Dewan Komisaris antara lain adalah: Komite Audit untuk membantu Dewan
Komisaris dalam memastikan integritas pelaporan keuangan, pengendalian
internal, serta efektivitas fungsi eksternal audit dan internal audit (baik
fungsi tersebut berada di dalam peusahaan maupun di-outsource dari luar).
Khusus untuk perusahaan publik, Komite Audit ini wajib dibentuk oleh Dewan
Komisaris. Sementara, Komite lainnya, seperti Komite Nominasi dan Remunerasi,
Komite Kebijakan Risiko, Komite Corporate Governance, merupakan komite yang
keberadaannya bukan merupakan sebuah keharusan, tetapi baik untuk dimiliki.
Menjadikan GCG sebagai budaya perusahaan. Mengapa GCG perlu
dijadikan budaya perusahaan Karena sesuatu yang telah menjadi perilaku
keseharian dan menjadi budaya, memiliki potensi implementasi yang lebih baik;
sebab GCG secara otomatis akan menjadi patokan dalam beraktivitas. Karena
budaya perusahaan merupakan sesuatu yang harus dibentuk dan merupakan akumulasi
dari sebuah perjalanan, maka menjadikan GCG sebagai budaya perusahaan tidak
seperti membalikkan telapak tangan. Agar GCG dapat menjadi budaya perusahaan, sebelumnya
perlu dilakukan beberapa tahapan, Pertama perusahaan perlu menetapkan value
yang dianut oleh perusahaan dalam melakukan aktivitas usahanya. Value
perusahaan ini harus menggambarkan sikap moral perusahaan. Agar sikap moral
tersebut dapat benar-benar diimplementasikan dalam setiap aktivitas usaha, maka
perusahaan harus merumuskan etika berbisnis/berusaha yang disepakati bersama.
Etika bisnis inilah yang menjadi tolok ukur dalam setiap perilaku. Pelaksanaan
etika bisnis yang berkesinambungan akan dapat membentuk budaya perusahaan yang
merupakan cerminan dari sikap moral yang dianut perusahaan. Agar setiap
individu dalam perusahaan dapat lebih mengerti akan perilaku apa yang
diharapkan, sikap moral dan etika berbisnis ini perlu dijabarkan dalam sebuah pedoman
perilaku. Dokumen ini juga akan bermanfaat sebagai acuan dalam melakukan
interaksi usaha, jika karyawan dihadapkan pada kondisi yang mungkin memiliki
potensi pelanggaran terhadap etika berbisnis.
Dalam upaya membangun budaya perusahaan berlandaskan CGG,
tidak perlu dibuat aturan-aturan khusus untuk memaksa setiap orang menerapkan
GCG. Aturan khusus yang perlu dibuat, mungkin hanya terbatas pada diwajibkannya
setiap anggota Direksi, Komisaris dan Karyawan untuk memberikan komitmennya
dalam menerapkan etika berbisnis yang baik, dan bentuk komitmen tersebut dapat
dituangkan dalam sebuah pernyataan yang harus dibuat secara periodik;
diberlakukannya sanksi atas pelanggaran etika, serta pengaturan untuk
melindungi pelapor yang melaporkan adanya perilaku yang tidak etis. Tetapi,
aturan khusus lainnya yang melampaui hal-hal diatas, tidak perlu diatur dengan
rinci. Karena jika hanya berlandaskan pada aturan, maka yang akan dicapai hanya
“kepatuhan pada peraturan”; sementara GCG lebih dari sekedar “patuh pada peraturan”.
GCG membutuhkan kesadaran dan komitmen, serta integritas dari semua pihak yang
terlibat dalam aktivitas usaha.
Adanya Dukungan Kerangka Hukum dan Public Governance. Banyak
hal yang masih harus dibenahi agar GCG benar benar dapat diterapkan. Penerapan
GCG perlu didukung oleh adanya lingkungan yang kondusif serta peraturan yang
dapat mengakomodir GCG. Tentunya kerangka ini perlu mendapatkan dukungan penuh
dari Regulator. Dengan adanya kerangka hukum yang dapat menunjang pelaku usaha
serta dengan adanya penerapan hukum yang konsisten, maka pelaku usaha dapat
lebih mudah dalam menerapkan GCG. Tingkat penerapan awal GCG dilihat dari
pemenuhan peraturan perundang-undangan, sehingga kerangka dasar penerapan GCG
dapat dikembangkan dari kerangka hukum tersebut.
Disamping itu, perlu adanya dukungan dari lingkungan di
tempat perusahaan beroperasi. Dalam berinteraksi dengan pihak eksternal,
perusahaan dihadapkan pada banyak pihak yang mungkin sebagian diantaranya tidak
bekerja berdasarkan prinsip-prinsip GCG, termasuk dalam etika kerja; sehingga
kesadaran dan kesungguhan dari perusahaan saja belum cukup. Sudah bukan rahasia
lagi bahwa di Asia, dan Indonesia pada khususnya, banyak sekali praktik
pemberian “kickback” kepada supplier, konsumer dan bahkan kepada regulator agar
urusan pekerjaan dapat berjalan dengan mulus. Tanpa lingkungan yang kondusif,
tantangan dalam penerapan GCG akan cukup besar. Good public governance dalam
hal ini mempunyai peran penting dalam mendukung keberhasilan penerapan GCG di
perusahaan.
KENDALA-KENDALA PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Kendala paling mendasar dalam penerapan GCG di
Indonesia berhubungan dengan moral dan etika. Misalnya, perusahaan publik di Indonesia umumnya berpola
kepemilikan yang terkonsentrasi dengan basis hubungan keluarga (family
ownership) serta pada umumnya
bergabung dalam suatu jaringan kelompok bisnis berbasis keluarga (family
business groups) Dengan bercirikan keluarga sebagai pemilik mayoritas
perusahaan, maka kekuatan tawar menawar pihak ini menjadi sangat kuat. Terlepas
dari efektif atau tidaknya perangkat
hukum dan peraturan yang ada mampu membatasi ruang gerak mereka, tanpa
basis moral dan etika yang kuat, peluang untuk mendahulukan kepentingan
kelompok pemilik mayoritas dengan mengorbankan kepentingan pihak lain, misalnya
pemilik minoritas, bahkan masyarakat/public menjadi sangat besar
PERAN AKUNTANSI DALAM GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Agency
Problem lahir dari adanya pemisahan antara manajemen dan penyandang dana,
dimana manajer berusaha untuk meningkatkan incentive mereka dalam rangka
memakmurkan dirinya dan menagabaikan tugas utamanya yaitu memaksimumkan
kemakmuran pemilik. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara diantaranya
adalah pengeluaran untuk dirinya manajemen. Sistim akuntansi keuangan
menyediakan informasi yang penting untuk Governance Mechanisme, yang membantu
memecahkan masalah keagenen. Penggunaan informasi akuntansi dalam Governance
Mechanisms bisa dalam bentuk implisit atau eksplisit. Penggunaan perjanjian
yang berbasiskan dasar akuntansi dalam kontrak obligasi adalah salah contoh
dari penggunaan informasi akuntansi secara eksplicit. Penggunaan informasi
ekuntansi untuk menyeleksi perusahaan yang akan dijadikan target takeover
adalah contoh dari penggunaan informasi akuntansi secara implisit.
Informasi
akuntansi keuangan merupakan produk dari proses Governance. informasi akuntansi
keuangan dihasilkan oleh manajemen dan manajemen mengetahui informasi ini akan
digunakan sebagai input dalam proses Governance. dibawah ini dijelaskan
mengenai informasi akuntansi keuangan sebagai produk dari proses Governance,
penggunaan informasi akuntansi secara eksplisit dan implisit.
·
Informasi
akuntansi keuangan sebagai produk dari proses governance. Proses bagaimana
informasi akuntansi lahir dan merupakan tanggung jawab dapat dilihat pada kasus
Amerika dan bisa aplikasikan kenegara lainnya. Proses pelaporan keuangan bagi
perusahaan umumnya diatur oleh pemerintah atau sistim hukum yang berlaku (kalau
di Amerika SEC). selanjut harus mengaju pada prinsip Akuntansi Yang Berterima
Umum (GAAP). Laporan keuangan juga akan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (audit eksternal) untuk di periksa
apakah dalam menyiapkan laporan keuangan sudah sesuai dengan aturan dan prinsip
yang berlaku. Perusahaan kemudian menunjuk Audit Committtee dari keanggotaan
Board of Director, yang mengawasi penyelesaian laporan keuangan dan
berkomunikasi dengan auditor eksternal sebagai wakil dari investor. Banyak
peneliti yang mengkaji bagaimana kualitas sistim pelaporan keuangan dihubungkan
dengan bentuk dan mekanisme Governance lainnya (diantaranya adalah La Porta, Lopez-De-Silanes, Shleifer and Vishny,
1998; Bushman, Chen, Engel dan Smith, 2000). Penelitian lainnya juga
mengembangkan literature tentang isu lainya yang berhubungan dengan kualitas
sistim pelaporan keuangan. Literature ini di bagi atas tiga kelompok. Kelompok pertama mengkaji tentang
kualitas disclosure dengan biaya modal (contoh,
Lang and Lundholm, 1996; Botosan, 1997; dan Botosan dan Plumlee, 2000).
Corporate Governance dijadikan sebagai ukuran apakah perusahan yang dijadikan
sample trasfaran atau tidak, khususnya terhadap kreditor. Hasil peneitiannya
tidak bervariasi, ada yang menemukan tingkat disclosure mempengaruhi biaya
hutang dan sebagian lagi tidak. Kelompok
kedua adalah menguji tentang efektivitas mekanisme pengawasan spesifik
terhadap proses pelaporan keuangan. Area
ini termasuk kajian tentang kualitas audit (contoh, Becker, DeFond, Jiambalvo dan Subramanyam, 1998; Francis, Maydew
dan Sparks, 1999) dan kualitas BOD dan Komite Audit (contoh, Beasley, 1996; Dechow, Sloan dan Sweeney, 1996; Carcello dan
Neal, 2000; Peasnell, Pope dan Young, 2000). Dan kelompok ketiga mengkaji sebab dan akibat gagalnya proses pelaporan
keuangan penelitian ini memfokuskan pada factor-faktor yang mempengaruhi
manajemen earning (contoh, Rangan, 1999;
Teoh, Wong and Welch, 1999) dan manipulasi earning (contoh., Feroz, Park dan Pastena, 1991; Dechow, Sloan dan Sweeney
1996).
·
Penggunaan
Informasi Akuntansi secara eksplisit dalam Corporate Governance Penggunaan
informasi akuntansi secara eksplisit dalam kontrak antara manajemen dan
individu atau lembaga yang memberikan dana pada perusahaan merupakan contoh
dari penggunaan informasi akuntansi dalam mekanisme Governance. khususnya penggunaan informasi akuntansi
sebagai alat ukur kinerja manajemen pada kontrak mengenai sistim kompensasi
untuk manajemen. Ini merupakan gambaran peran informasi akuntansi dalam
mekanisme Governance. kompensasi yang berbasiskan laporan keuangan hanya
merupakan bagian kecil dari insentif yang ada. Insentif yang berdasarkan
kenaikan harga saham cendrung sebagai dasar mereka investor untuk memberikan
insentif pada manajemem (penelitian
tentang isu ini telah dilakukan peneliti diantaranya adalah , Murphy, 1985;
Core, Guay and Verrecchia, 2000). Berlawanan dengan literature tentang peran
informasi akuntansi dalam kompensasi diatas, penggunaan informasi akuntansi
secara eksplisit pada perjanjian hutang masih berlanjut. Penelitian pendahuluan
yang dilakukan oleh Smith dan Warner (1979) dan Leftwich (1983)
mendokumentasikan keberadaan dan fungsi akuntansi dalam perjanjian kontrak
hutang antara kreditor dan perusahaan.. penelitian pada area ini memfokuskan
pada pada implikasi pemilihan metode akuntansi yang digunakan (contoh., Press dan Weintrop, 1990; Sweeney,
1994). Tapi, peran informasi akuntansi pada kontrak keuangan telah terus
berlangsung perkembangannya dan mendapat sambutan yang mengembirakan, khususnya
perjanjian peminjaman dan pelunasan hutang. Contoh penggunaan informasi akuntansi adalah berapa bunga harus dikenakan
pada perusahaan didasarkan atas kekuatan keuangan perusahaan dan ini didasarkan
atas data akuntansi. Data akuntansi di analisa yang dijadikan rasio-rasio
keuangan dan dikelompokan atas beberapa aspek diantaranya likuiditas,
solvabiltias, efektivitas dan profitabilitas.
·
Pengunaan
informasi akuntansi secara implisit dalam Corporate Governance
Penggunaan informasi akuntansi secara implisit dalam mekanisme Corporate Governance merupakan peran informasi akuntansi yang paling penting. Dalam kontek ini, valuasi dan peran akuntansi menjadi saling berhubungan. Dalam konteks bahwa investor bersedia berinvestasi pada perusahaan merupakan fungsi information efficiency dan tingkat likuiditas pasar modal. Sehingga, penelitian akuntansi yang berbasiskan pasar modal dan memfokuskan penggunaan informasi akuntansi dalam penilaian surat-surat berharga merupakan implikasi pada isu Corporate Governance. Tapi, daripada memfokuskan pada peran governance akuntansi melalui peranya dalam menfasilitasi informational efficiency harga saham. Bahkan informasi akuntansi kelihatannya secara langsung memfasilitasi jalanya mekanisme Governance spesifik. Penelitian empiris mendukung bahwa informasi akuntansi secara implisit digunakan dalam mekanisme Governance yang beragam. Ada dua area paling, kajian tentang peran informasi akuntansi dalam mekanisme Corporate Governance yaitu Legal Protection dan Large Investor. Dalam kategori legal protection, beberapa penelitian telah mendokumentasikan peran informasi akuntansi dalam menjalankan hak legal investor dalam melawan menajem. Investor tidak bisa membawa masalah tersebut ke pengadilan karena manajemen telah melakukan kecurangan atau kegiatan yang tidak sesuai dengan apa yang digariskan oleh investor (pemilik). Karena sistim pelaporan keuangan adalah mekanisme internal utama yang memberi fasilitas komunikasi antara manajemen dan investor. Penelitian mendokumentasikan bahwa masalah akuntansi dan pengungkapan sangat berhubungan dengan perkara hokum pemegang saham dan bahwa manajemen melakukan seolah-olah mereka memenage strategi pelaporan keuangan untuk mengurangi biaya yang berhubungan dengan perkara hukum investor (contoh ., Kellogg, 1984; Francis, Philbrick dan Schipper, 1994; Skinner, 1994; Skinner 1996). Informasi akuntansi juga memainkan peran penting dalam menjalankan hak kreditor dalam kasus tidak di lunasinya hutang perusahaan atau dalam kondisi bankrut. Dalam kategori kedua, informasi akuntansi secara implisit memfasilitasi jalanya mekanisme Governance adalah large investor. Large investor bisa mempengaruhi tindakan manajemen melalui Board of Diretor, yaitu atoritas untuk menggunakan manajemen atau meberhentikannya . penelitian akademik memyimpulkan bahwa BOD
menggunaka kenerja laba akuntansi sebagai input untuk keputusan memberhentikan manajemen (Weisbach,1988). Tapi, dalam banyak kasus, investor yang memiliki saham besar tidak mempunyai hak suara mayoritas di dewan komisaris dan mungkin harus mengambil tindakan yang lebih drastis seperti takeover atau proxy contest untuk merebut control BOD dan mendisiplinkan manajemen. Penelitian juga menemukan bahwa pengukuran kinerja akuntansi berhubungan keputusan takeover (Palepu,1986), proxy contests (DeAngelo, 1988), dan institutional investor activism (Opler dan Sokobin, 1998). Selain Penelitian yang dilakukan oleh peneliti diatas, banyak peneliti lain yang menguji pengaruh institutional investor activism terhadap kinerja perusahaan telah banyak dilakukan dengan menggunakan informasi akuntansi. Secara umum melaporkan tidak ada bukti yang meyakinkan aktivisme investor mempengaruhi kinerja perusahaan. Walaupun sebagian kecil melaporkan bahwa ada pengaruh perusahaan yang menjadi target CalPERS terhadap tingkat pengembalian jangka panjang (Nesbitt, 1994). Tapi hasil Nesbitt (1994) di kounter oleh Guercio dan Hawkins (1997) yang menyimpulkan bahwa masih ada perusahaan yang menjadi target CalPERS (perusahaan yang mempunyai kinerja tidak bagus) mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat pengembalian. Penelitian yang menemukan tidak adanya pengaruh aktivisme investor institusi terhadap kinerja perusahaan dilakukan banyak peneliti yaitu Daily, John, Elstrand dan Dalton (1996), Bear dan Sias (1997), Opler dan Sokobin`s (1997), Carleton, Nelson dan Weisbach (1997) dan lain-lain. Dari penelitian-penelitian tersebut, tak seorang penelitipun berani menyimpulkan bahwa aktivisme investor institusi memberikan dampak positif terhadap kinerja perusahaan.
Walaupun aktivisme investor institusi tidak berdampak positif terhadap kinerja perusahaan, tapi aktivisme ini bisa merubah budaya perusahaan sehingga mempengaruhi kinerja perusahaan secara keseluruhan. Seperti yang dikemukan oleh Gordon (1997), Black dan Coffee (1994), dan Coffee (1997). Perubahan budaya memang tidak dapat di uji secara langsung. Tapi melalui perubahaan Governance yang didukung oleh institusi akan berdampak terhadap kinerja perusahaan. Bukti empiris menyimpulkan bahwa sudah tiga perubahan yaitu (i) perubahan komposisi dewan komisaris, (ii)komite nominasi dan kompensasi yang berasal dari dewan komisaris independen dan (iii) pemisahan posisi pimpinan dewan komisaris dengan CEO. Investor institusi sangat mendukung yang duduk di dewan komisaris adalah komisaris independen. Tapi tidak ada jaminan dengan banyak komposisi komisaris independen dan pemisahan posisi pimpinan dewan komisaris dengan CEO akan meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan (Klein, 1997b), Brickley, Coles, dan Jarrell (1997).
Penggunaan informasi akuntansi secara implisit dalam mekanisme Corporate Governance merupakan peran informasi akuntansi yang paling penting. Dalam kontek ini, valuasi dan peran akuntansi menjadi saling berhubungan. Dalam konteks bahwa investor bersedia berinvestasi pada perusahaan merupakan fungsi information efficiency dan tingkat likuiditas pasar modal. Sehingga, penelitian akuntansi yang berbasiskan pasar modal dan memfokuskan penggunaan informasi akuntansi dalam penilaian surat-surat berharga merupakan implikasi pada isu Corporate Governance. Tapi, daripada memfokuskan pada peran governance akuntansi melalui peranya dalam menfasilitasi informational efficiency harga saham. Bahkan informasi akuntansi kelihatannya secara langsung memfasilitasi jalanya mekanisme Governance spesifik. Penelitian empiris mendukung bahwa informasi akuntansi secara implisit digunakan dalam mekanisme Governance yang beragam. Ada dua area paling, kajian tentang peran informasi akuntansi dalam mekanisme Corporate Governance yaitu Legal Protection dan Large Investor. Dalam kategori legal protection, beberapa penelitian telah mendokumentasikan peran informasi akuntansi dalam menjalankan hak legal investor dalam melawan menajem. Investor tidak bisa membawa masalah tersebut ke pengadilan karena manajemen telah melakukan kecurangan atau kegiatan yang tidak sesuai dengan apa yang digariskan oleh investor (pemilik). Karena sistim pelaporan keuangan adalah mekanisme internal utama yang memberi fasilitas komunikasi antara manajemen dan investor. Penelitian mendokumentasikan bahwa masalah akuntansi dan pengungkapan sangat berhubungan dengan perkara hokum pemegang saham dan bahwa manajemen melakukan seolah-olah mereka memenage strategi pelaporan keuangan untuk mengurangi biaya yang berhubungan dengan perkara hukum investor (contoh ., Kellogg, 1984; Francis, Philbrick dan Schipper, 1994; Skinner, 1994; Skinner 1996). Informasi akuntansi juga memainkan peran penting dalam menjalankan hak kreditor dalam kasus tidak di lunasinya hutang perusahaan atau dalam kondisi bankrut. Dalam kategori kedua, informasi akuntansi secara implisit memfasilitasi jalanya mekanisme Governance adalah large investor. Large investor bisa mempengaruhi tindakan manajemen melalui Board of Diretor, yaitu atoritas untuk menggunakan manajemen atau meberhentikannya . penelitian akademik memyimpulkan bahwa BOD
menggunaka kenerja laba akuntansi sebagai input untuk keputusan memberhentikan manajemen (Weisbach,1988). Tapi, dalam banyak kasus, investor yang memiliki saham besar tidak mempunyai hak suara mayoritas di dewan komisaris dan mungkin harus mengambil tindakan yang lebih drastis seperti takeover atau proxy contest untuk merebut control BOD dan mendisiplinkan manajemen. Penelitian juga menemukan bahwa pengukuran kinerja akuntansi berhubungan keputusan takeover (Palepu,1986), proxy contests (DeAngelo, 1988), dan institutional investor activism (Opler dan Sokobin, 1998). Selain Penelitian yang dilakukan oleh peneliti diatas, banyak peneliti lain yang menguji pengaruh institutional investor activism terhadap kinerja perusahaan telah banyak dilakukan dengan menggunakan informasi akuntansi. Secara umum melaporkan tidak ada bukti yang meyakinkan aktivisme investor mempengaruhi kinerja perusahaan. Walaupun sebagian kecil melaporkan bahwa ada pengaruh perusahaan yang menjadi target CalPERS terhadap tingkat pengembalian jangka panjang (Nesbitt, 1994). Tapi hasil Nesbitt (1994) di kounter oleh Guercio dan Hawkins (1997) yang menyimpulkan bahwa masih ada perusahaan yang menjadi target CalPERS (perusahaan yang mempunyai kinerja tidak bagus) mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat pengembalian. Penelitian yang menemukan tidak adanya pengaruh aktivisme investor institusi terhadap kinerja perusahaan dilakukan banyak peneliti yaitu Daily, John, Elstrand dan Dalton (1996), Bear dan Sias (1997), Opler dan Sokobin`s (1997), Carleton, Nelson dan Weisbach (1997) dan lain-lain. Dari penelitian-penelitian tersebut, tak seorang penelitipun berani menyimpulkan bahwa aktivisme investor institusi memberikan dampak positif terhadap kinerja perusahaan.
Walaupun aktivisme investor institusi tidak berdampak positif terhadap kinerja perusahaan, tapi aktivisme ini bisa merubah budaya perusahaan sehingga mempengaruhi kinerja perusahaan secara keseluruhan. Seperti yang dikemukan oleh Gordon (1997), Black dan Coffee (1994), dan Coffee (1997). Perubahan budaya memang tidak dapat di uji secara langsung. Tapi melalui perubahaan Governance yang didukung oleh institusi akan berdampak terhadap kinerja perusahaan. Bukti empiris menyimpulkan bahwa sudah tiga perubahan yaitu (i) perubahan komposisi dewan komisaris, (ii)komite nominasi dan kompensasi yang berasal dari dewan komisaris independen dan (iii) pemisahan posisi pimpinan dewan komisaris dengan CEO. Investor institusi sangat mendukung yang duduk di dewan komisaris adalah komisaris independen. Tapi tidak ada jaminan dengan banyak komposisi komisaris independen dan pemisahan posisi pimpinan dewan komisaris dengan CEO akan meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan (Klein, 1997b), Brickley, Coles, dan Jarrell (1997).
KESIMPULAN
Dari
penjelasan diatas dapat di simpulkan bahwa informasi akuntansi mensuplai input
yang paling penting ke dalam mekanisme Corporate Governance. informasi
akuntansi secara implisit digunakan baik untuk menunjukan apakah aksi
governance melawan manajemen dibutuhkan dan untuk membantu menentukan
pengeluaran untuk stakeholder lainnya jika terjadi masalah hukum dan penurunan
kinerja keuangan
LAMPIRAN nomor 01
PERNYATAAN SIKAP IAI:
PERANAN AKUNTAN DALAM PENATAAN ULANG SISTEM FINANSIAL GLOBAL PASCA KRISIS
Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) menyampaikan pernyataan profesi pada Konvensi Nasional
Akuntansi (KNA) VI di Bandung, 14 Agustus 2009.
Fungsi akuntan masa depan bukanlah
lagi sekedar pemeriksa atau penyedia informasi keuangan, tetapi menjadi bagian
penting dari pembangunan ekonomi dan sosial untuk menciptakan Indonesia yang
lebih berkeadilan dan makmur.
Dengan kesadaran tinggi akan
tanggung jawab dan peran kami sebagai profesi dalam penataan ulang sistem
finansial global pascakrisis, kami para Akuntan Indonesia yang tergabung dalam
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) melalui Konvensi Nasional Akuntansi VI di
Bandung, 13 dan 14 Agustus 2009 menyatakan sikap profesi sebagai berikut:
1) Krisis finansial global disebabkan
oleh perilaku keserakahan korporasi, good corporate governance yang buruk,
serta disclosure dan transparansi yang tidak memadai. Pembentukan karakter
perusahaan yang ikhsan dan dapat dipercaya menjadi keharusan. Akuntan Indonesia
sepatutnya dapat merancang dan menjalankan fungsi penyediaan informasi
akuntansi berupa Penyusunan Laporan Keuangan dengan mengacu pada Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) serta mendorong penetapan regulasi pemerintah terkait
sistem finansial yang menjamin pelaksanaan good corporate governance.
2) Pasar Modal sangat terkena krisis
finansial global perlu melakukan pembenahan berbagai regulasi. IAI siap
membantu Bapepam & Bursa Efek Indonesia untuk ikut serta mempersiapkan
perbaikan regulasi guna meningkatkan sistem pengawasan dan kualitas pelaporan
keuangan.
3) Salah satu sektor perekonomian
yang berkembang saat ini di Indonesia dan dunia adalah sektor UKM dan ekonomi
berbasis syariah. IAI berkomitmen mendukung pengembangan sektor UKM dan ekonomi
berbasis syariah tersebut dengan cara menyusun dan mengimplementasikan SAK
Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (ETAP) untuk Organisasi UKM dan ETAP, serta
SAK Syariah untuk Organisasi berbasis Syariah. Akuntan Indonesia juga bertekad
untuk mempromosikan SAK syariah tersebut menjadi SAK syariah yang diadopsi
secara global.
4) IAI bertekad untuk menuntaskan
proses konvergensi standar akuntansi keuangan Indonesia (PSAK) dengan standar
akuntansi keuangan internasional (IFRS) dengan target waktu akhir tahun 2012.
5) Para akuntan pemerintah (termasuk
akuntan di pemerintah daerah) perlu berinisiatif dan didorong untuk melakukan
pergeseran peran mereka dari sekedar menjadi bookkeeper menjadi akuntan
manajemen dan partner strategis dari Kepala daerah/Kepala pemerintahan.
6) Penyediaan informasi akuntansi
yang relevan dan andal untuk pengambilan keputusan adalah keharusan dalam
globalisasi ekonomi. Akuntan publik seharusnya memberikan nilai tambah kepada
perusahaan dengan orientasi tidak lagi hanya memberikan opini atas kewajaran
Laporan Keuangan, namun juga terhadap keefektifan sistem pengendalian internal
perusahaan dan manajemen resiko serta memastikan perusahaan telah menjalankan
operasinya sesuai kaidah Good Corporate Governance.
7) Mendukung Reformasi perpajakan
yang sedang dilaksanakan di Indonesia sebagai bagian dari komponen untuk
menjamin keadilan dan kemakmuran bangsa. IAI siap mengawal reformasi perpajakan
yang dapat meningkatkan kepercayaan dan kepatuhan wajib pajak sekaligus mampu
meningkatkan penerimaan negara.
Menindaklanjuti
pernyataan sikap profesi tersebut, IAI merekomendasikan hal-hal berikut ini:
1) Penataan sistem finansial global
dilakukan secara menyeluruh dengan ruang lingkup penataan sbb:
a) Penataan regulasi, dalam hal ini
peraturan perundang-undangan mengenai sistem keuangan di Indonesia dengan fokus
pada penegakan Good Corporate Governance pada organisasi bisnis di Indonesia.
b) Penyesuaian informasi keuangan
dengan globalisasi ekonomi, yaitu dengan meningkatkan mutu kualitas Laporan
Keuangan, sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan Indonesia yang harmoni
dengan Standar Akuntansi Keuangan secara Internasional.
c) Penataan tugas, fungsi, dan
peranan kelembagaan dengan mengacu pada kerangka pengendalian internal
institusi/organisasi/lembaga keuangan di Indonesia sehingga dapat menghindari
terjadinya praktek kecurangan, ketidakekonomisan, ketidakefisienan, dan
ketidakefektifan dalam operasi institusi/organisasi/lembaga keuangan.
d) Penataan karakter korporasi yang
ikhsan dan bertanggungjawab secara sosial
2) Reformasi keuangan sektor publik
sebagai bagian penting dari reformasi birokrasi diarahkan untuk menyelaraskan
kemampuan sektor publik dalam mengawasi dan mengawal dunia bisnis serta
optimasi pelayanan publik, dengan cara menegakkan akuntabilitas, transparansi,
dan kepercayaan publik.
Hal-hal
yang harus dilakukan:
a) Para akuntan pemerintah (termasuk
akuntan di pemerintah daerah) berinisiatif dan memfasilitasi pergeseran peran
dari bookkeeper menjadi akuntan manajemen dan partner strategis dari Kepala
Daerah/Kepala Pemerintahan.
b) Harus ada proses penetapan standar
kompetensi akuntan sektor publik, yang melibatkan perguruan tinggi penyelenggara
program studi akuntansi, IAI serta lembaga pemerintah (pusat dan daerah).
c) Perguruan tinggi penyelenggara
program studi akuntansi diminta memberikan perhatian lebih pada pendidikan
akuntansi sektor publik, baik jenjang D3, S1 dan Pascasarjana, sesuai kebutuhan
akan akuntan yang sangat meningkat.
3) Demi tercapainya target
konvergensi standar akuntansi keuangan pada akhir tahun 2012, maka:
a) Akuntan publik perlu meningkatkan
kompetensi sehubungan dengan perubahan SAK, memperbaharui SPAP dan menyesuaikan
pendekatan audit yang berbasis IFRS.
b) Akuntan manajemen di perusahaan
perlu membentuk satuan kerja atau tim sukses konvergensi IFRS yang bertugas
memperbaharui pengetahuan akuntan manajemen, melakukan gap analysis dan
menyusun road map konvergensi IFRS serta berkoordinasi dengan IAI untuk
optimasi sumber daya anggotanya.
c) Akuntan pendidik di perguruan
tinggi perlu membentuk tim sukses konvergensi IFRS untuk memperbaharui
pengetahuannya, merevisi kurikulum dan silabus serta melakukan berbagai
penelitian terkait.
d) Regulator perlu melakukan
penyesuaian regulasi yang terkait dengan pelaporan keuangan dan perpajakan
serta melakukan upaya pembinaan dan supervisi terhadap profesi yang terkait
dengan pelaporan keuangan seperti penilai dan aktuaris.
e) Asosiasi industri perlu menyusun
pedoman akuntansi industri yang sesuai dengan perkembangan Standar Akuntansi
Keuangan (SAK), membentuk forum diskusi yang secara intensif membahas berbagai
isu sehubungan dengan dampak penerapan SAK dan secara proaktif memberikan
masukan dan komentar kepada Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar